Ziarah Kubro Bersama KMNU UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Menapak Jejak Ulama, Menyambung Ruh Keilmuan Nusantara

Fajar baru saja menyingsing di ufuk timur. Kabut tipis masih menggantung di jalanan ketika rombongan KMNU UIN Sunan Kalijaga memulai perjalanan menuju Jawa Timur. Di dalam bus, lantunan shalawat pelan mengiringi langkah menuju ziarah kubro sebuah perjalanan yang bukan sekadar menempuh jarak, melainkan upaya menyusuri jejak spiritual para ulama yang telah menyalakan lentera keilmuan di bumi Nusantara.

Ziarah kali ini tidak menyasar Wali Songo sebagaimana tradisi umum, tetapi ke makam para ulama besar yang menjadi penerus sanad keilmuan Islam di Jawa Timur: mulai dari Syaikhona Kholil Bangkalan, Sunan Ampel Surabaya, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hingga Gus Miek Kediri. Perjalanan ditutup di Pondok Ma’unah Sari, tempat rombongan disambut hangat oleh Gus Baihaqi Nabilunnuha.

Bangkalan: Menyusuri Keteladanan Sang Guru Para Ulama

Langkah pertama terhenti di Madura, tepatnya di makam Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Udara pagi Madura terasa lembab, aroma laut bercampur wangi bunga setaman yang terhampar di pusara sang ulama. Di antara desir angin dan suara doa, waktu seolah melambat.

Syaikhona Kholil dikenal sebagai guru para ulama, sosok yang bukan hanya menguasai ilmu lahir batin, tapi juga membentuk karakter murid-muridnya dengan adab dan kebersahajaan. Dari pesantrennya di Bangkalan lahir nama-nama besar: KH. Hasyim Asy’ari, KH. As’ad Syamsul Arifin, dan banyak tokoh pesantren lainnya.

Di hadapan pusara beliau, rombongan KMNU larut dalam dzikir. “Kalau bukan karena beliau, mungkin tidak ada NU seperti sekarang,” bisik salah satu peserta. Syaikhona mengajarkan bahwa keilmuan harus berpadu dengan keikhlasan; bahwa santri sejati adalah yang terus menebar manfaat tanpa menuntut balasan.

Surabaya: Sunan Ampel dan Dakwah yang Membumi

Perjalanan berlanjut ke Surabaya. Di tengah riuh pasar Ampel yang tak pernah tidur, rombongan singgah di kompleks makam Sunan Ampel. Di sini, tradisi dan spiritualitas berpadu indah. Lantunan doa dari para peziarah berpadu dengan teriakan pedagang, menciptakan harmoni yang unik seolah menggambarkan bagaimana Islam diajarkan oleh para wali: membumi tanpa kehilangan ruh ketuhanan.

Sunan Ampel dikenal sebagai perintis dakwah kultural. Ia menanamkan Islam lewat kearifan lokal, lewat bahasa rakyat, dan falsafah sederhana: Moh Limo tidak mabuk, tidak main perempuan, tidak mencuri, tidak berbohong, dan tidak makan haram. Nilai-nilai moral itu masih terasa hidup di setiap lorong menuju masjid Ampel.

Sembari sarapan di sekitar area makam, rombongan berbincang ringan tentang makna dakwah yang lembut dan penuh kasih. “Kadang dakwah bukan di mimbar,” kata salah seorang pengurus, “tapi dalam cara kita bersikap.”

Jombang: Tanah Lahirnya Pergerakan

Tujuan berikutnya adalah Jombang, tanah kelahiran Nahdlatul Ulama. Di sini, rombongan berziarah ke KH. Abdul Wahab Hasbullah, ulama pejuang sekaligus intelektual yang membuka cakrawala santri terhadap dunia modern. Dikenal sebagai Singa Podium dan penggerak Nahdlatul Wathan, KH. Wahab menegaskan bahwa menjadi santri tidak berarti menutup diri dari zaman, melainkan hadir aktif di tengah arusnya dengan membawa nilai Islam yang santun.

Dari makam KH. Wahab, langkah bergeser ke pusara KH. Bisri Syansuri, sosok faqih yang tegas menjaga otentisitas hukum Islam di tubuh NU. Lalu berakhir di kompleks makam KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Tebuireng.

Di hadapan makam Gus Dur, suasana mendadak hening. Beberapa peserta menunduk lama, seolah berbincang dengan ruh sang guru bangsa. Gus Dur adalah simbol keterbukaan dan keberanian santri untuk berpikir melampaui batas. Nilainya masih terasa hidup dalam benak generasi muda NU: “Berbeda itu rahmat, selama kita berakar pada kemanusiaan.”

Kediri: Jejak Gus Miek dan Spirit Dakwah Tanpa Batas

Perjalanan berlanjut ke Kediri, tepatnya kemakam KH. Hamim Tohari Djazuli (Gus Miek). Sosok yang dikenal eksentrik namun penuh cinta. Gus Miek mendekati kaum marjinal, para perantau malam, dan masyarakat yang sering terpinggirkan. Ia mengajarkan bahwa dakwah tidak hanya tentang mengajar, tapi juga tentang merangkul dan memahami.

Suasana di area makam terasa teduh meski tanpa pepohonan rindang. Dzikir dan shalawat lirih terdengar bersahutan dari para peziarah yang datang silih berganti. Rombongan KMNU duduk melingkar, memanjatkan doa dengan khusyuk.

Di sela keheningan itu, seorang peserta berbisik pelan,

“Mungkin inilah makna rahmatan lil ‘alamin yang sebenarnya menyentuh hati siapa pun, tanpa menghakimi.”

Doa pun mengalun, menyatu dengan suasana Kediri yang damai. Di sanalah para peserta seolah merasakan getaran cinta dakwah Gus Miek yang melampaui batas ruang dan waktu.

Ma’unah Sari: Menyambung Spirit, Menatap Masa Depan

Perjalanan ditutup di Pondok Ma’unah Sari di Bandar Kidul, Kediri. Rombongan disambut hangat oleh pengasuhnya, Gus Baihaqi Nabilunnuha seorang ulama muda yang dikenal dengan visi modernnya. Di hadapan peserta ziarah, beliau menyampaikan pesan yang menembus ruang refleksi:

“Kalau pesantren tidak ingin disalahpahami oleh media, maka pesantren harus masuk ke ruang media itu sendiri. Sudah waktunya santri menulis, berbicara, dan hadir di dunia global. Santri harus mendunia.”

Wejangan itu menutup seluruh rangkaian ziarah dengan kesan yang mendalam. Seolah menjadi jawaban atas seluruh perjalanan: bahwa ziarah bukan hanya menengok masa lalu, tapi juga menyiapkan langkah masa depan.

Refleksi dan Ruh KMNU: Dari Ziarah Menuju Gerakan

Ziarah Kubro KMNU kali ini menjadi lebih dari sekadar kunjungan spiritual. Ia adalah titik temu antara sejarah, kebersamaan, dan cita-cita. Di setiap perjalanan, ada tawa dan lelah yang dibalut doa. Ada kisah kecil tentang gotong royong, tentang sepotong roti yang dibagi dua, tentang bahu yang jadi sandaran ketika letih di jalan.

Semua itu mencerminkan ruh KMNU, keluarga besar yang tumbuh dalam kasih dan perjuangan. Bahwa setiap langkah bersama bukan hanya perjalanan fisik, tetapi ikhtiar untuk terus menjaga sanad keilmuan dan semangat kebangsaan ala Nahdlatul Ulama.

Sebagaimana pesan yang sering terngiang di telinga para santri:

“Barang siapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”

Maka berjalanlah, wahai santri KMNU, bukan hanya di jalan ilmu, tapi juga di jalan pengabdian. Karena di setiap langkahmu, ada doa para ulama yang telah lebih dulu menapaki jalan itu dan ada harapan bahwa di tangan santri, masa depan Indonesia tetap terjaga dalam cahaya.

Penulis: Nur Alif Arrokhim – Ketua Umum KMNU UIN SUKA 2025

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *