Sebelum jauh membaca, saya sampaikan bahwa tulisan ini ditulis tidak berdasarkan data, sumber, rujukan, atau referensi sebagaimana semestinya. Murni dari pemikiran sepintas seorang pemuda yang dangkal logika. Sehingga penting bagi pembaca untuk lebih selektif, karena sangat memungkin ditemukian banyak kesalahan dalam tulisan ini. Kritik dan saran sangat terbuka untuk disampaikan.
Wanita adalah komponen penting yang tak bisa dilepaskan dari struktur masyarakat. Meskipun menjadi komponen penting, kedudukannya acapkali dinomor dua kan di bawah laki-laki. Pandangan ini sudah muncul, bahkan mendarah daging, membudaya, di kalangan masyarakat kita sejak dulu kala.
Wanita dibatasi dalam mengekspresikan apa yang menjadi kemauan dan kemampuannya. Ia seringkali hanya ditempatkan pada urusan domestik dan rumah tangga. Agaknya pandangan kolot tersebut di era sekarang sudah banyak mendapat pertentangan secara lebih terbuka. Saat ini sudah banyak muncul organisasi feminis yang membela hak-hak wanita dalam kesetaraannya dengan laki-laki. Yang perlu digarisbawahi adalah kata “setara”, yang berarti duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Sejajar dalam martabat, sama adil dalam hukum masyarakat. Sayangnya nilai-nilai yang diusung oleh mereka -organisasi feminis, masih mendapat pertentangan dari beberapa golongan laki-laki yang memegang kuat budaya patriarki. Barangkali pertentangan tersebut karena ada kesalahpahaman memaknai kata “setara”, atau ketakutan mereka jika wanita hendak mengkudeta posisi laki-laki yang berada di kursi tertinggi.
Baca juga: Tantangan Kesetaraan Gender dalam Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan
“WANITA SELALU BENAR”. Begitu kiranya sebuah kalimat yang gencar digaungkan akhir-akhir ini, yang membuat beberapa laki-laki ketar-ketir dan kikuk jika berhadapan dengan wanita. Ibu-ibu belok kiri tapi lampu seinnya ke kanan adalah BENAR. Pacarmu bilang kamu tidak peka itu juga BENAR. Maha BENAR wanita dengan segala tindakannya.
Faktanya, realitas di lapangan wanita sering dijadikan sasaran kesalahan. Saya akan analogikan dalam satu kasus. Terkait kejahatan seksual, wanita terkadang malah dijadikan kambing hitam atas bentuk tindakan pelecehan seksual. Sebagian orang berpendapat bahwa pelecehan seksual terhadap wanita penyebabnya juga dari wanita itu sendiri: Pakaian seksi, semerbak parfum wangi, dan pesona bak bidadari.
X: “Wanita yang jadi korban kok malah dituduh jadi pemicu kejahatan?”
Y: “Tapi kejahatan harus diberantas sampai akarnya. Baik si wanita atau laki-laki sama salahnya. Ibarat rumput, wanita seksi adalah akarnya, dan lelaki mesum sebagai batangnya. Kalau hanya memotong batangnya, tersangka lainnya akan tumbuh lagi. Kecuali jika kau cabut akar dari tanahnya.”
X: “Lah kok gitu?”
Untuk sedikit meluruskan, mari analogikan pada kasus pidana yang lain.
Jika seseorang mencuri, siapakah sebenarnya yang salah? Apakah karena salah si korban punya harta sehingga mengundang nafsu si pencuri untuk merampas barang milik si korban? Tentu saja salahnya pencuri. Solusinya adalah dengan menghukum dan memberi efek jera kepada si pencuri agar dia tidak mencuri lagi. Bukan lantas memiskin si korban agar si pencuri tidak bernafsu untuk mencuri.
Jika seorang pejabat korupsi, siapakah sebenarnya yang salah? Apakah karena salah negara yang punya banyak anggaran sehingga memicu pejabat untuk melakukan korupsi? Tentu salah si koruptor. Solusinya adalah memenjarakan si koruptor -atau memberikan hukuman mati. Bukan lantas memotong anggaran negara agar tidak dijadikan bahan korupsi.
Baca juga: Kami Puan Mendukung Setiap Perempuan
Dengan analogi kedua kasus tersebut, mari kita kembali pada kasus awal.
Jika seseorang melakukan pelecehan seksual terhadap wanita, maka sebenarnya siapakah yang salah? Apakah karena salah si wanita berpakaian seksi sehingga membangkitkan nafsu para lelaki? Saya pikir kalian sudah paham pembahasan ini akan mengarah ke mana.
Kiranya penting bagi kita untuk bisa membedakan antara penyebab kejahatan dan objek kejahatan. Koruptor harus dihukum sebagaimana aturan yang ada, tapi uang negara harus lebih dijaga dan disalurkan sebagaimana mestinya. Pelaku pelecehan seksual harus dihukum sebagaimana mestinya, tapi wanita juga harus lebih menjaga dirinya.
Wallahu a’lam.
Penulis : Fahrurozi, Depnas 2 KMNU Pusat
Editor : Ida Rahayu

