Oleh: Ahmad Ismail
Apakah Tuhan tersembunyi? Sehingga keberadaan-Nya sulit untuk diketahui. Banyak manusia yang mempertanyakan apakah Tuhan benar-benar ada? Sebab jika Tuhan ada, lantas mengapa manusia tidak dapat melihat-Nya? Sehingga muncullah pelbagai rasa skeptis dalam diri manusia terhadap eksistensi Tuhan.
Banyak manusia yang mencari kebenaran akan keberadaan Tuhan untuk meruntuhkan keraguan mereka. Ada yang akhirnya menemukan jawaban bahwa Tuhan itu ada. Ada pula yang ujungnya menyangkal eksistensi Tuhan. Dan ada sebagian yang terjebak buntu pada posisi ragu terhadap ada atau tidaknya Tuhan itu.
Selama peradaban manusia masih berlangsung, eksistensi Tuhan akan selalu dipertanyakan. Pertanyaan tentang keberadaan Tuhan kiranya sudah muncul berabad-abad yang lalu. Sebab manusia memiliki rasa kesadaran (consciousness) dan rasa ingin tahu akan keraguan yang dirasakan dalam benaknya.
Pertanyaan tentang Tuhan juga muncul tidak lain karena adanya doktrin-doktrin agama yang ada di muka bumi. Agama mengajarkan kepada setiap pemeluknya untuk mempercayai keberadaan Tuhannya. Adanya perbedaan agama terkadang juga menimbulkan keraguan bagi para pengikutnya tentang wujud Tuhan. Apakah Tuhan yang disembah setiap agama berbeda atau sama? Sehingga pencarian terhadap keberadaan Tuhan akan selalu berulang pada setiap individu manusia.
Lantas bagaimana cara manusia menemukan jawaban atas keraguan terhadap eksistensi Tuhan? Tentu melalui renungan amat mendalam dengan membaca ayat-ayat Tuhan. Baik melalui ayat-ayat kauniyyah (alam semesta) maupun ayat-ayat qauliyyah (firman Tuhan). Terdapat pula literatur-literatur klasik, karya para cendekiawan masa lampau dalam bidang teologi, yang dapat dijadikan sebagai sumber. Tinggal bagaimana para manusianya? Apakah bersedia mencari tahu dan berpikir kritis terhadap isu ketuhanan atau tidak?
Pada kenyataannya, dalam kehidupan, akan selalu ada 2 sisi yang berbeda. Jika ada yang percaya bahwa Tuhan ada, maka akan ada pula yang menyangkal keberadaan Tuhan. Setiap dari yang percaya dan yang tidak tentu memiliki jawaban serta pandangannya masing-masing. Namun sebuah kebenaran akan tetap benar meskipun ribuan penyangkalan menyerangnya.
Bagi kelompok yang membantah keberadaan Tuhan. Mereka memiliki argumentasi utama, bahwa tidak ada bukti empiris yang mampu membuktikan keberadaan-Nya. Wujud Tuhan tidak bisa dilihat oleh mata kepala telanjang manusia. Hujjah (argumentasi) ini acap kali diagungkan oleh para saintis. Sebab dalam sains, yang ada adalah yang mampu dibuktikan melalui data-data empiris. Data yang mampu ditangkap oleh indra manusia. Sehingga sesuatu yang kasatmata akan mudah disimpulkan bahwa keberadaannya tidak ada. Dan mereka yang menentang keberadaan Tuhan biasa disebut kelompok ateis.
Akan tetapi, pernyataan bahwa Tuhan tidak ada karena tidak adanya bukti empiris, sesungguhnya merupakan argumentasi yang tidak masuk akal. Sebuah kesimpulan yang terlalu sederhana dan terkesan ngawur. Sebab bagaimana bisa membuktikan keberadaan Tuhan sebatas dengan bukti-bukti empiris belaka. Sedang Tuhan merupakan zat yang tidak bisa dilihat oleh indra manusia. Oleh karena itu, prinsip sains yang hanya mengandalkan indra sebagai dasar pembuktian keberadaan Tuhan tidaklah tepat untuk dijadikan dasar.
Bagi kaum teisme, yang kokoh percaya bahwa Tuhan ada, memiliki argumentasi kuat bahwa wujud Tuhan bukanlah seperti wujudnya manusia. Dimensi wujud manusia hanya terbatas pada kemampuan indrawi. Yang dapat dilihat dengan mata, yang mampu diraba oleh indra peraba, dan yang mampu didengar oleh telinga. Sehingga manusia ada karena dapat terlihat wujud tubuh fisiknya. Maka tidaklah demikian untuk membuktikan wujud keberadaan Tuhan. Sebab semua pembuktian empiris hanyalah bagi makhluk bukan bagi sang Khalik. Seperti yang dikatakan oleh Al-ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin, bahwa Tuhan ada tidak melalui tubuh yang berbentuk juga bukan melalui substansi yang terbatas.
Untuk meyakini keberadaan Tuhan, sesungguhnya Tuhan dapat dikenal melalui sifat-sifat ketuhanan-Nya sendiri. Tuhan memiliki sifat wujud atau ada. Sama halnya manusia juga memiliki wujud. Namun dimensi wujud keberadaan tuhan dan manusia tidaklah sama. Tuhan memiliki sifat yakni Zat yang maha Hidup, dan manusia juga hidup di dunia. Akan tetapi hidupnya Tuhan dan manusia tidaklah sama. Manusia hidup di dunia membutuhkan makan dan minum setiap harinya. Sedang Tuhan sama sekali tidak membutuhkan hal-hal yang manusia butuhkan untuk hidup. Itulah sebuah prinsip tanzih yang dikemukakan oleh imam Al-ghazali. Prinsip yang menjauhkan Tuhan dari segala bentuk kemiripan apapun dengan makhluknya. Sebab sudah pasti mustahil, jika sang pencipta memiliki derajat yang setara dengan yang dicipta-Nya.
Pada akhirnya, kebenaran bahwa Tuhan itu ada adalah mutlak adanya. Bukan tingkatannya jika keberadaan-Nya yang agung sebatas dibuktikan oleh data empiris semata. Baik manusia percaya atau tidak, Tuhan akan tetap ada. Bagaimanapun pembuktian empiris yang dilakukan, serta penyampaian argumentasi kritis untuk menyangkal keberadaan Tuhan. Tuhan akan tetap mutlak ada. Dan adanya Tuhan tidaklah sama dengan wujud keberadaan manusia.
Sumber:
Abdalla, Ulil Abshar. 2021. Jika Tuhan Maha Kuasa, Kenapa Manusia Menderita. Yogyakarta. Mojok.
Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulumuddin.