Pemahaman mengenai istilah gender seringkali disamakan dengan jenis kelamin. Padahal keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Jenis kelamin merujuk pada kondisi biologis laki-laki dan perempuan sedangkan gender adalah hasil konstruksi sosial dan budaya yang berdampak pada peran laki-laki dan perempuan yang diberikan oleh masyarakat. Peran tersebut bisa berubah seiring berjalannya waktu, perbedaan wilayah dan tahapan kehidupan dengan tetap mempertimbangkan pengalaman biologis serta pengalaman sosial perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Sebagian dari kita ketika mendengar istilah kesetaraan gender seringkali langsung memberikan respon dan pemikiran yang negatif padahal maksud dari kesetaran gender adalah agar perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam mewujudkan segala potensi yang dimiliki serta memiliki hak yang sama untuk berkontribusi dalam pembangunan baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Kesetaran gender menjadi isu penting dikarenakan masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai negara di dunia. Maka dari itu kesetaraan gender menjadi salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Di Indonesia, isu kesetaraan gender tertuang dalam visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Adil disini diartikan bahwa tidak ada batasan atau diskriminasi dalam bentuk apapun, baik wilayah, individu maupun jenis kelamin. Dalam pembangunan, manusia ditempatkan pada tujuan akhir dan bukan sekedar dijadikan alat bagi pembangunan. Salah satu tolak ukur pembagunan suatu negara adalah kualitas manusia yang hidup didalamnya.
Baca Juga: Menjahui Orang Miskin Sama Dengan Menjauh Dari Rasulullah
Menurut data dari United Nations Development Programme (UNDP) mengenai Gender Inequality Index (GII), pada tahun 2017 Indonesia berada di peringkat ke-104 dari 160 negara. Tingkat ketimpangan gender Indonesia selama periode 2000-2017 terus mengalami penurunan. Hal tersebut menandakan bahwa kesetaraan gender di Indonesia semakin membaik akan tetapi sangat lambat. Pada tahun 2000 indeks ketimpangan gender Indonesia sebesar 0,563 semakin mengecil hingga menjadi 0,453 di tahun 2017. Apabila melihat ketimpangan gender di negara-negara ASEAN, posisi Indonesia termasuk tinggi dan masih di atas rata-rata dunia. Indonesia menempati posisi ke tujuh di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina (Clarissa, 2019). Oleh sebab itu, perlu dilakukan usaha ekstra untuk mencapai kesetaraan gender di berbagai bidang untuk mengejar ketertinggalan tersebut.
Dalam pembangunan manusia terdapat tiga aspek penting yang menjadi tolak ukur Indeks Ketimpangan Gender (IKG) yaitu (1) Kesehatan reproduksi yang dilihat dari Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Fertilitas Remaja; di masyarakat kita pendidikan kesehatan reproduksi masih dianggap tabu, padahal hal ini sangat penting sebagai tahap awal manusia mengenali tubuhnya sendiri supaya terhindar dari kekerasan dan hal buruk lainnya. Seringkali yang banyak beredar justru mitos-mitos seputar menstruasi yang bisa membahayakan perempuan. Pendidikan kesehatan reproduksi juga bisa menjadi salah satu cara untuk mencegah perkawinan usia anak serta memberikan pemahaman mengenai pentingnya pendewasaan usia perkawinan. Dampak negatif dari perkawinan usia anak ini sangat beragam mulai dari stunting, putus sekolah, kematian neonatus, perdarahan, berat badan bayi lahir rendah, kematian ibu dan lain-lain. Menurut data BPS, angka kematian ibu di Indonesia masih terbilang tinggi yaitu sekitar 305 per 100.000 kelahiran hidup. Anak perempuan ketika sudah menikah cenderung sulit untuk melanjutkan pendidikan karena selain beban pengasuhan yang dilimpahkan kepadanya juga belum ada sekolah yang mau menerima anak-anak tersebut. Dengan menjelaskan dampak negatif tersebut, diharapkan angka pernikahan usia anak dan angka kematian ibu semakin menurun. Sehingga anak perempuan yang biasanya menjadi korban pemaksaan perkawinan usia anak mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidupnya agar bisa berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai bidang kehidupan.
Baca Juga: Dua Amal Sederhana Dan Paling Utama Di Sisi Allah
(2) Pemberdayaan yang diukur dari pencapaian pendidikan dan keterwakilan dalam jabatan publik. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keikutsertaan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Akan tetapi untuk mencapai 30 persen tersebut perempuan terkadang harus melakukan usaha yang ekstra. Tidak jarang ketika perempuan sudah menduduki jabatan publik, alih-alih membicarakan peran ataupun track record-nya, permasalahan pribadi seperti apakah anak dan suaminya terurus atau tidak masih sering dipertanyakan. Berbeda dengan laki-laki yang menduduki jabatan publik, permasalahan pribadi seperti itu tidak mungkin dipertanyakan dan (3) status ekonomi yang bisa dilihat dari partisipasi pada pasar tenaga kerja. Dalam hal ini masih banyak perempuan yang melakukan unpaid care work (UCW) yang meliputi mengurus anggota keluarga, pekerjaan rumah tangga, dan kerja-kerja komunitas. Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2014 sebagaimana diolah SMERU, 97% perempuan/istri melakukan unpaid care work, terlepas ia memiliki pekerjaan penuh waktu, dibandingkan laki-laki/suami yang hanya 25% yang melakukannya. Kita bisa melihat bahwa kerja yang dilakukan perempuan lebih berat daripada laki-laki dengan kerja rangkapnya yang samar dan tidak terbayar. Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) diukur berdasarkan persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu wilayah. Ini berarti TPAK masih belum mencakup kerja-kerja perempuan di luar pekerjaan yang secara langsung berkontribusi pada perekonomian.
Untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan usaha yang tidak mudah. Sebagian masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarki menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan sebagai warga kelas dua. Begitu pula dengan pandangan individu yang menganggap perempuan hanya sebagai objek, bukan tidak mungkin akan terus melahirkan kekerasan dan diskriminasi. Maka dari itu perlunya membangun kesadaran bersama bahwa laki-laki dan perempuan adalah manusia, yang dibutuhkan keduanya adalah saling bekerjasama dan saling menghormati. Serta perlu adanya pemahaman pemerintah agar menentukan kebijakan publik yang berperspektif gender. Dengan terwujudnya kesetaraan gender, diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas generasi mendatang.
Referensi:
Clarissa, Alvina, dkk. 2019. Penghitungan Indeks Ketimpangan Gender 2018 (Kajian Lanjutan 2). Jakarta: Badan Pusat Statistik
Putri, Fadilla. 2021. Seri 4 IWD 2021: Unpaid Care Work: Kerja-Kerja Tersamar Perempuan yang Tak Diakui. https://rumahkitab.com/unpaid-care-work-kerja-kerja-tersamar-perempuan-yang-tak-diakui/. Diakses pada tanggal 8 Maret 2021 pukul 08.52 WIB
Penulis: Nila ‘Uyun Haqiqi, Mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta @nilauy_
[…] Baca Juga: Tantangan Kesetaraan Gender dalam Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan […]
[…] Baca Juga: Tantangan Kesetaraan Gender dalam Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan […]