Takzim terhadap Guru Sebagai Kunci Sukses Menuntut Ilmu

Oleh : M. Ubaidillah Hanan

Dibalik suksesnya penuntut ilmu, ada sesosok guru yang mendidik dan mengajarkan  anak didiknya dengan tulus.  Ketulusannya mampu memberi pengaruh konkret pada pengembangan potensi murid. Pada lembaga pendidikan atau majelis ilmu, guru bagaikan orang tua yang mendidik, mengajarkan, dan memberi nasihat baik kepada kita. Guru berusaha memikul beban dari orang tua untuk mendidik anak-anak. Maka dari itu, memuliakan guru menjadi suatu kewajiban layaknya memuliakan orang tua kita sendiri.

Dewasa ini, sering kita jumpai murid yang berperilaku tidak pantas terhadap gurunya. Membentak, berkata kasar, meledek, dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan sedikit dari perilaku buruk murid pada guru. Perlakuan sewenang-wenang tersebut menjadi hal yang tidak mengejutkan lagi. Padahal, kesuksesan dalam menuntut ilmu tergantung dari ridha seorang guru. Oleh sebab itu, memuliakan guru menjadi poin penting yang perlu diperhatikan para penuntut ilmu.

Baca Juga : Perkuat Kualitas, KMNU UIN Sunan Kalijaga Laksanakan KSATRIA Tingkat I

Takzim berarti menghormati atau memuliakan. Penyebutan kata takzim lebih populer di kalangan pesantren dibanding masyarakat di sekolah umum. Secara singkat, takzim terhadap guru berarti menghormati dan memuliakan seseorang yang telah mengajarkan ilmu kepada kita.

Menghormati guru sama halnya dengan memuliakan Ilmu. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Aku adalah hamba bagi siapapun yang mengajariku walaupun hanya satu huruf; jika mau ia boleh menjualku, dan jika mau ia membebaskanku”. Ungkapan tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa guru yang tak ternilai harganya. Tanpa adanya guru, kita akan hidup dengan kebodohan.

Seorang penuntut ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan mengambil manfaat dari ilmu tersebut kecuali dengan menakzimkan para guru. Terlebih jika seorang guru tersakiti oleh muridnya, maka murid akan terhalang mendapatkan keberkahan ilmu, dalam sebuah sya’ir dikatakan:

لَا يَنْصَحَانِ إِذَا هُمَا لَمْ يُكْرَمَا                            إِنَّ الْمُعَلِّمَ وَالطَبِيْبَ كِلاَ هُمَا

وَاقْنَعْ بِجَهْلِكَ إِنْ جَفَوْتَ مُعَلِّمًا فَاصْبِرْ لِدَائِكَ إِنْ جَفَوْتَ طَبِيْبَهَا

Sesungguhnya guru dan dokter itu, keduanya

Tidak akan memberikan nasihat jika tak dihormati

Tahanlah sakitmu jika kamu kasar terhadap dokter

Dan nikmatilah kebodohanmu jika kamu kasar terhadap gurumu

Sya’ir tersebut mengisyaratkan bahwa seorang murid yang tidak takzim terhadap guru dan tidak mengindahkan nasihatnya, maka ia tidak akan mendapatkan apapun kecuali penyesalan. Mereka akan menyesali waktu yang terbuang sia-sia tanpa mendapatkan manfaat dan keberkahan dari ilmu tersebut.

Al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah, memberikan bentuk sikap takzim terhadap guru sebagai berikut:

  1. Mengucap salam ketika hendak menemui
  2. Tidak berbicara sebelum ditanya
  3. Tidak menyangkal ucapan guru
  4. Tidak menunjukkan secara terang-terangan perbedaan pendapat dengan guru
  5. Tidak boleh berbicara kepada teman ketika berada di depan guru
  6. Tidak boleh menoleh kekiri dan kekanan, melainkan harus menundukkan pandangan dengan etika
  7. Tidak banyak bertanya ketika guru sedang terlihat lelah
  8. Tidak boleh menyela pembicaraan guru
  9. Tidak boleh bertanya saat guru sedang ditengah jalan
  10. Memberinya jalan jika guru berdiri

Sumber lainnya, seperti pada kitab ta’lim juga menjelaskan perihal cara menghormati orang alim (guru) antara lain:

  1. Tidak berjalan di depannya
  2. Tidak menduduki tempat duduknya
  3. Tidak memulai pembicaraan di hadapannya kecuali atas izinnya
  4. Tidak banyak bicara di hadapannya
  5. Tidak bertanya tentang sesuatu saat sedang bosan
  6. Memperhatikan waktu
  7. Ketika bertamu, sabar menantinya hingga guru keluar

Sebagai seorang penuntut ilmu, mencari ridha dari sang guru menjadi sebuah keharusan. Jika sekiranya berat untuk melakukan beberapa cara diatas, penuntut ilmu setidaknya dapat menjauhi kemurkaan dari guru, melaksanakan perintahnya selama itu bukan maksiat, serta menghormati anak-anak dan siapa saja yang masih memiliki hubungan darah dengan guru. Hal tersebut merupakan bentuk ikhtiar yang paling mudah bagi penuntut ilmu jika ingin mencapai kesuksesan dan mendapat keberkahan dalam menuntut ilmu.

Sumber :

  • Terjemah Ta’limul Muta’alim: Pentingnya Adab Sebelum Ilmu
  • Terjemah Bidayatul Hidayah

Editor : Dewi Robiatul Adawiyah

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *