Di salah satu sudut terminal yang ramai senyap, ia duduk dengan sepotong buku di antara kedua matanya. Tatapannya tertata rapi kepada setiap larikan kata yang ia baca sejak tadi, sungguh tatapan yang seolah lebih tajam dari sepotong silet yang baru diasah. Sementara, cahaya redup lampu-lampu dari seberang terminal memantul ke arah wajahnya, membuka gerbang pagi buta menunjuk jalan ke arah wajah yang tampak begitu manis dengan lesung pipit menghias kedua pipi lengkap dengan gigi gingsulnya. Sesekali senyuman membujur lembut dari kedua bibirnya, membuat wajah manis itu nampak semakin manis saja. Di balik buku yang ia genggam erat, di antara jejari lentiknya, mengelapak manja sepucuk surat, tak ada nama pengirim, surat itu datang begitu saja lewat temannya yang ditipi orang tak dikenal. Namun dari aroma kenanga yang tercium dari surat itu dan dari setiap lekuk hurufnya, ia tahu surat itu ditulis oleh ibunya. Surat itu baru ia baca separuh bagian, namun ia sudah tahu surat itu intinya apa: ia harus pulang. Itulah alasannya ia berada di terminal ini, untuk menuntaskan rindu setelah enam tahun ia tak pernah pulang ke rumah.
***
Sekitar enam tahun lalu ceritanya dimulai. Di sebuah kampung kecil di balik bukit. Cerita konyol mengenai gadis manis itu mendadak menggemparkan warga sekampung. Bahkan cerita konyolnya lebih terkenal daripada cerita pembunuhan Maryam, janda anak satu yang ditemukan tewas di pinggir sungai dengan keadaan tanpa busana. Gadis itu membuat kesalahan yang nampaknya terdengar konyol bagi warga kampung.
“Haaa? Si Sofi hendak kuliah, tidak salah?”
-“Tidak salah, tadi pagi orang beramai-ramai membicarakannya.” Ungkap Udin kepada Juki. “Sialan! lamaranku terancam gagal.”
Di bagian lain kampung, di beranda rumah Pak Sugeng sekelompok ibu- ibu tengah bergerombol, di antara mereka ada Bu Tuti, yang pernah gagal untuk menjadikan Sofi sebagai menantu. “Haaa? Beneran, Bu Tut?” Sebuah pertanyaan
muncul dari arah paling belakang kerumunan. “Iya, beneran…” ungkap Bu Tuti meyakinkan, “Wah-wah, makin parah nih anak. Kemarin-kemarin lamaran anak- anak kita semuanya ditolak ini lagi, mau kuliah, sok kaya, mending duitnya buat nikah, ‘kan?!”
Tak ada yang lebih lumrah dari pernikahan dini di kampung ini. Teman- teman masa SD Sofi semuanya sudah kesana kemari membawa anak bahkan beberapa sudah menjanda. Bagi Sofi hal ini menjadi hal yang amat menjijikkan dan mengerikan. Sofi banyak mendengar tangisan, erangan kesakitan, dan permintaan ampun seorang istri muda kepada suaminya. Hal ini yang menjadi alasan kuat bagi Sofi untuk tak tergesa-gesa menikah, kalau tak beruntung bisa-
bisa ia bernasib sama dengan Sumi teman Sofi yang diketemukan tewas di
rumahnya dipunggungnya terdapat luka bakar berbentuk setrika dan beberapa
luka lebam di dadanya, mayatnya ditemukan tewas tersungkur di bawah meja makan sambil memeluk bayinya yang usianya belum genap tiga bulan. Tak butuh waktu lama, polisi membekuk pelaku, si biadab Pardi, yang tengah bersembunyi di balik kandang kambing milik orang tuanya. Polisi menyeretnya melewati tengah desa, orang-orang berdesakan ingin melihat si biadab itu. Orang-orang meneriaki Pardi, namun Pardi tak menggubris, kakinya yang pincang tertembus timah panas lebih penting untuk disesali daripada kematian istrinya sendiri.
Di kampung ini, Sofi adalah orang pertama yang mempunyai rencana konyol macam itu: kuliah. Sejak desa ini pertama kali dicangkul tanahnya, Sofi adalah orang yang pertama kali bisa lulus SMA dan ingin melanjutkan kuliahnya di kota, pencapaian paling mentok anak-anak selain Sofi adalah bisa lulus SMA, itu saja hanya satu yakni anaknya Pak Lurah. Sebenarnya, dulu Sofi tak sendiri saat pertama mendaftar SMA, namun semua temannya memutuskan berhenti karena berbagai alasan: ada yang dilamar dan langsung mengiyakan lamaran itu, ada yang tak kuat terus menerus dimarahi orang tuanya dan dihina lingkungannya. “Sekolah buat apa? Mending kerja lalu nikah itu jauh lebih baik, supaya tanggung jawab orang tuamu cepat usai. Toh ujung-ujungnya nanti jadi ibu rumah tangga pelayan suami atau jadi petani penyangking pupuk tiap hari.” Hingga akhirnya
menyisakan Sofi yang bisa sampai lulus, bukan sekadar lulus, tapi lulus sebagai peringkat satu, satu SMA.
Di suatu pagi yang basah, ada yang mengetuk pintu belakang rumah, ketukannya begitu lirih namun sampai hingga ke kamar Sofi. Sofi membuka pintu, tak ada siapapun selain Mardiyah, teman dekat Sofi yang rela menembus gerimis untuk bisa menemui Sofi, terlihat dari baluran air yang masih meliuk manja di seluruh wajahnya. “Kamu mau kuliah?” Tanya Mardiyah datar, “iya…” ungkap Sofi singkat, “kamu tak mau nikah seperti aku?”
“Sekarang, aku tak lebih menginginkannya dari sepotong roti”
“Konyol!” Mardiyah berlalu pergi, tak ada percakapan lebih antara mereka berdua. Sisa pergulatan hujan semalam masih terkapar menggenang di halaman ketika Sofi dibuat heran oleh ucapan Mardiyah.
Sofi sendiri tahu betul yang akan dihadapi, yang akan ia lakukan pasti akan banyak penolakan. Ia sendiri tak pernah merasa kasihan pada dirinya jika semua temannya menjauh, yang paling patut ia kasihani adalah orang tuanya.
Suatu pagi seperti pagi-pagi sebelumnya, Bu Aminah dengan sandal jepit kesukaannya lengkap dengan daster bermotif mawar beraroma kenanga berjalan menuju pasar, tak seorang pun membersamai dirinya. Memang tak biasanya ia seorang diri, biasanya ia pergi dengan ibu-ibu yang lain. Keranjang ditentengnya dengan mesra, berjalan melalui sebuah warung paling tua di kampung itu, dari sana terdengar kasak-kusuk orang-orang tengah serius berbicara, dari sayup semakin dekat semakin jelas. “Haha…” suara tawa yang begitu renyah. “Ini ada uang, di rumah di bawah bantal ada uang” Parmin mengangkat tinggi gepokan uang hasil panen cabai seminggu lalu, “sekarang di sini siapa yang anaknya mau aku kuliahkan, karena anak-anaku sudah terlanjur pintar, SD tidak lulus pun sudah bisa menghasilkan uang, rumah, tanah, dan puluhan gram emas.”
Dalam hati Bu Aminah ingin sekali ia mengiris mulut besar Parmin, lalu merebusnya sebagai pakan kucing, atau lebih ringannya menjawab sindiran Parmin atas dirinya dengan sebenar-benarnya kenyataan bahwa, anak-anak
Parmin menghasilkan uang dengan mencuri hasil panen cabai para warga desa yang disimpan dalam gudang, termasuk milik keluarga Bu Aminah. Mereka mengambilnya tak banyak, hanya satu kresek dari setiap warga. Namun satu warga satu kresek sudah cukup membuatnya anak-anak Parmin kaya apabila dikumpulkan, terlebih mereka melakukannya dua minggu sekali. Dan hebatnya mereka tak pernah diketahui aksinya, kecuali oleh keluarga Bu Aminah. “Eh itu ada Bu Aminah orang paling kaya, mari sini Bu. Masih ada sisa makanan, kasihan tubuhmu kian kurus, pasti kau belum makan, ‘kan uangmu ditabung untuk biaya kuliah anakmu.” Tangan Parmin melambai ke arah Bu Aminah, tak ada ampun bagi Bu Aminah. Ini kesempatan Parmin untuk merendahkan Bu Aminah, sama seperti yang dilakukan Sofi ketika menolak lamaran Paidi, putra sulung Parmin.
Cemoohan Parmin hanya satu dari sekian banyak cemooh yang menyambangi hari-hari keluarga Sofi: sungguh keluarga dengan hati dan telinga yang malang.
Suatu malam ketika bulan raib oleh awan yang membuatnya ketutupan, ketika si bungsu lelap, juga Sofi yang tengah menjadi mimpi atas mimpinya sendiri, di kamar pribadi pasangan suami-istri, Bu Aminah mengajak bicara suaminya, Pak Darlin, mengenai niat putrinya. “Pak, aku sudah tidak tahan atas cemoohan warga, tadi ketika aku pulang, orang-orang menatapku begitu beku lalu kemudian beberapa meludah seolah mereka risih denganku.” Pandangan Pak Darlin berangsur mulai teduh, ketika gerbang air mata istrinya perlahan mulai runtuh. Pak Darlin mencoba menenangkan, “sudahlah, Bu. Itu keinginan putri kita, Sofi adalah pemandangan indah bagi desa yang teramat sakit ini. Dialah masa depan cerah bagi desa ini, percayalah!” Bu Aminah kemudian menyandarkan kepalanya pada tubuh tegar suaminya, “aku tidak habis pikir, mengapa mereka begitu liar menghujat kita, padahal niat kita baik.” Pak Darlin mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang sebetulnya juga menjadi pertanyaan yang sama yang terus mengepul dalam kepala botaknya. “Mungkin karena mereka iri terhadap keluarga kita, anak-anak mereka tidak bisa sepintar Sofi. Atau sialnya mereka telah sakit hati karena lamaran-lamaran anak-anaknya tak pernah ada yang diterima Sofi”
Pagi itu, ketika matahari cahayanya terperangkap dalam baskom cucian Bu Aminah, seseorang terdengar mengetuk pintu. Dari balik pintu, Bu Aminah mendengar orang tengah bercakap-cakap, dalam hati Bu Aminah mengatakan bahwa mereka adalah tamu yang akan pulang dengan perasaan kecewa,
“Permisi, Bu Aminah,” kata seorang yang rapi penampilannya, dengan setelan seragam dinas, sepatu hitam mengilat, rambut klimis namun botak dan kumis tebal yang berjungkit setiap kata-kata keluar dari mulutnya, “owalah, Pak Camat. Silahkan masuk, Pak!” Sapa Bu Aminah ramah, “saya tidak menyangka gubuk sempit penuh lubang seperti ini bisa kedatangan tamu terhormat seperti bapak.” “Berlebihan banget Bu Aminah ini. Eee… jadi gini, Bu Aminah, niat saya meluangkan waktu datang kemari pertama untuk silaturahmi, kemudian perkenalkan ini putra sulung saya namanya Randi, dia sarjana lulusan salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja, dia sekarang kerja di salah satu perusahaan besar di Jakarta sebagai direk…”
“Sebentar, Pak. Maaf kenyamanan bicara bapak saya potong. Saya akan memanggilkan suami saya dulu”
Sementara, Sofi tengah menyembunyikan diri dalam kamar. Sesekali suara Pak Camat yang begitu santun terdengar menembus lubang pintu kamar sampai di telinga Sofi. Dari nada-nadanya, Sofi tahu betul niat Pak Camat adalah ingin menjadikan Sofi sebagai menantunya.
“Owalah Pak Camat. Ada apa ya jauh-jauh datang kemari hanya untuk mengunjungi goa, “ sapa Pak Darlin ramah. “Aduh, Pak Darlin ini dari dulu selalu saja merendah. Jadi gini, Pak. Putra saya ini berniat unt…”
“Sudah, Pak. Saya tahu maksud Pak Camat, tapi jawabannya saya serahkan kepada Si Sofi, dia yang akan menjalani bukan saya atau istri saya”
“Kog, Pak Darlin. Bisa tahu kalau anak saya berniat melamar putri anda?”
Tentu saja Pak darlin tahu. Ia sudah sangat hafal. Hampir setiap bulan pasti ada saja yang datang ke rumah untuk melamar si manis Sofi, tak hanya warga kampung itu, beberapa datang dari negeri nun jauh yang bahkan tak satu pun keluarga Sofi tahu tempatnya, tak hanya kalangan pribumi beberapa yang datang adalah anak seorang guru, anak pejabat, anak pengusaha, dan anak seorang mandor. Namun, tentu Pak Darlin tak akan memberitahu bahwa tak pernah ada lamaran yang diterima Sofi.
“Sofi? Kemari, Nak! Ada yang hendak menemuimu.” Pinta Pak Darlin lembut. “Iya, Pak. Sebentar…”
Tak butuh waktu lama, Sofi keluar kamar mendatangi ruang tamu. Bagai peri bersayap pelangi, ia melangkahkan kakinya yang mungil menghadap Pak Camat dan putranya, kukunya bersih tersusun rapi bagai lipatan baju dalam lemari, rambut dalam kerudungnya semburat mewangi, wajahnya manis sejuk bagai embun di ujung tangkai melati. Tak hanya Randi, Pak Camat pun ikut dibuatnya luluh, dalam hatinya juga bernafsu ingin menjadikan Sofi sebagai istri ketiga,
“Bagaimana, Sof?”
Tak ada jawaban apa-apa, selain gelengan kepala. Namun satu gelengan saja cukup untuk meruntuhkan lamaran Randi sekaligus memusnahkan niat busuk Pak Camat.
“Dasar! Wanita jalang tak tahu diri,” Randi beranjak dari kursi mengacungkan telunjuknya tepat ke arah wajah Sofi yang tengah tertunduk, “Sok jual mahal, di Jakarta banyak yang lebih cantik dari loe tapi tak pernah sekalipun menolak untuk gue tiduri, dan loe yang pertama nolak seorang Randi, goblok! Bang…”
Hati Sofi seolah terkutuk, kata-kata itu menusuk sebagai pisau yang menembus otaknya. Pak Camat terkejut, kemudian mengarahkan sebuah pukulan tepat di hidung putranya, setetes darah hangat mengucur ke lantai, Randi berlalu pergi. Pak Camat tak pernah lebih malu dari hari itu, dengan segala ampun ia meminta maaf kemudian menyusul lari putranya.
Beberapa hari sebelum Sofi berangkat ke kota, Sofi merasakan nyeri yang begitu hebat pada perutnya. Bu Aminah mencoba mengurutnya tapi tak ada
bedanya, giliran Pak Darlin yang kemudian membawanya ke rumah sakit, sehari tak ada bedanya. Tak sabar, Pak Darlin mendatangi rumah Kyai Alawi, “ada yang bermain-main dengan dukun” Kyai Alawi menjelaskannya dengan mantab. Sofi diberi air putih kemudian dari mulutnya keluar darah dan baut penuh karat.
Seminggu setelah hari aneh itu, Sofi meminta ijin untuk berangkat ke kota, menjadi mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri, bukan hanya mencari jati diri tapi untuk lari dari segala kebringasan kampungnya sendiri. Perjalanannya dimulai dari sebuah terminal, ketika langit masih remang, dan mentari belum bisa melukis bayang-bayang, ketika bus-bus lampunya berdegup-degup, kadang seperti redup, kadang menyala asal hidup. Dua wanita hebat, Bu Aminah dan Sofi saling berpeluk: mereka akan berpisah. Pak Darlin yang tengah menggendong Si Bungsu, mulai lemah, sesekali air matanya yang begitu berharga harus direlakannya keluar. “Ssst! Jangan, jangan menangis! Silahkan kau pergi, JANGAN KEMBALI SAMPAI KAU MENJADI SUKSES!”
Kata-kata Pak Darlin masih menggeliat dalam kepala Sofi seperti kutu- kutu kelaparan yang menggerogoti kulit kepalanya. Namun ada yang lebih menggerogoti kepalanya dari kata-kata yang demikian ajaib itu, sekumpulan kericuhan yang memintal, kericuhan itu kian hari kian riuh saja dalam kepala Sofi, yang ia lebih senang menyebutnya sebagai rindu. Sofi selalu membayangkan wajah kedua orang tuanya, mungkin rambut pada kepala bapaknya sudah mulai berbintik putih, mungkin jarak antar kedua mata ibunya sudah bertambah lebar, mungkin si bungsu sudah bisa berjalan, mungkin kolam di dekat rumahnya sudah menjadi telaga, dan sekian banyak kemungkinan lain. Sayang tak ada bayaran dari rindu yang dilakukan Sofi, kalau ada mungkin bayaran itu sudah bisa untuk membeli tanah, rumah, kolam, lengkap dengan taman bermain dibelakang rumah.
***
Pagi ini masih sama seperti awal keberangkatannya enam tahun tahun. Terminal ini adalah tempat pertama yang ia sambangi di kota ini. Tak lama, terminal mulai ramai: oleh penumpang ke berbagai tujuan, oleh pengamen pencari makan siang, oleh pedagang pencari pelanggan, dan oleh pencopet pencari kelengahan. Ia mencoba tak peduli, yang penting pulang setidaknya rindu yang lama liar dalam kepalanya akan langsung tuntas musnah begitu sampai di rumah, meski pulangnya adalah dosa karena belum memenuhi syarat yang diajukan orang tuanya: BOLEH PULANG SETELAH SUKSES. Sampai hari ini Sofi belum sukses, pekerjaan yang tetap belum ia punya, jangankan kerja, kuliah S2-nya pun belum resmi tamat, satu-satunya yang ia bisa hanya menjadi seorang penulis lepas.
Tak berselang lama, seseorang berteriak dari dalam bus, orang itu menyebutkan nama daerah yang hendak Sofi tuju, dari lagaknya ia tahu itu adalah kernet yang akan mengantarnya pulang. Sofi memasukkan bukunya ke dalam tas kemudian menuju bus, sementara kernet itu membantu Sofi mengangkat bawaanya ke dalam bus. Sofi memilih duduk di kursi paling belakang dekat jendela. Bus melaju perlahan sebelum kencang, senyum Sofi makin terihat lebar, ia merasa dari semua penumpang, tak ada yang lebih bahagia dari dirinya. Sesekali ada saja angin yang masuk dari lubang kecil dekat kursinya, angin seolah membawa bau harum masakan ibunya, “emmm, nasi megono ditambah oseng kangkung dan suwiran daging ayam”. Tak ada hal lain yang mampu dilakukan Sofi selama perjalanan selain terus saja tersenyum. Hingga bus mulai bergerak perlahan sebelum kemudian berhenti. Para penumpang berebut pintu keluar, Sofi berada di baris paling belakang menunggu kerumuan itu habis. Sofi keluar dengan sebuah tas lekat di punggungnya, menyapu pandang setiap sudut terminal. Tak ada satu pun orang yang ia kenal, “Bapak dan ibuku kemana? Bukankah seharusnya mereka menjemputku? Atau mereka belum sampai?”
Sofi berjalan ala kadarnya menuju sebuah kursi, terdengar lamat seseorang memanggilnya dari arah belakang, suara itu kian begitu jelas.
“Assalamualaikum, Sofi?” ucap seseorang dari arah belakang, “waalaikumsalam, Juki. Subhanallah, nampaknya ada yang berbeda dari penampilanmu. Kamu pakai sarung, tidak salah?” Sofi terkejut dengan penampilan baru Juki, “ya beginilah…”
“Mana bapak dan ibuku? Kog mereka belum sampai?”
“Memang mereka tidak akan datang, akulah yang ditugaskan untuk menjemputmu, ayo!”
Melihat penampilan dan perilaku Juki yang sekarang, nampaknya tidak ada salahnya mengiyakan jemputan itu. “Kemana, Bapakku?” lanjut Sofi, “dia di rumah, bagaimana kuliahmu?”
“Alahamdulillah, lancar.” Pembicaraan ringan antara mereka berlangsung hingga Sofi sampai di rumah. Setiba di rumah, ada yang membuat Sofi bingung, orang- orang tengah beramai-ramai berkumpul di depan rumahnya. Di antara mereka ada Pak Camat dan putranya, ada Parmin, Bu Tuti, dan semua orang yang dulu menghinanya, serta ada tukang sate, ia dulu tak pernah menghinanya, tapi dia di sini sedang memanfaatkan kesempatan untuk melariskan dagangannya. “Ada yang aneh,” Sofi mulai merasakan sesuatu yang janggal. “Kemana orang tuaku?” Tanya Sofi dalam hatinya.
“Selamat datang, Sofi” ucap Parmin begitu ramah. “Iya, ini ada apa, ya?”
“Kami mau meminta maaf atas kelakuan kami dulu, kami merasa malu dan risih atas kami sendiri”
“Apa maksud kalian?”
“Lihatlah sekelilingmu, hanya ada kerumunan orang tua, hanya ada beberapa gadis dan beberapa pemuda”
“Kemana mereka?” Parmin melangkah mendekati Sofi, wajahnya mendadak layu, “begini, sekitar tiga tahun lalu, ketika hasil panen begitu melimpah, untuk merayakannya kami mengadakan pesta selama tiga malam berturut-turut. Di malam pertama, ada beberapa orang datang, kami tak tahu mereka dari mana. Mereka membawa banyak botol minuman dan beberapa jenis obat-obatan, waktu itu kami tak tahu apa itu. Mereka menawarkannya dengan cuma-cuma, kami dengan polosnya mengiyakan. Di malam kedua dan ketiga kami pesta pora dengan barang-barang haram itu. “Lantas bagaimana dengan perempuan muda di kampung ini? Apakah mereka ikut?”
“Tidak, mereka tidak ikut. Akibat barang itu kami seperti singa kelaparan dengan segala birahi meminta dikawinkan, Pak Camat tahu kami mabuk massal lalu memanggil polisi kami ditangkap satu-satu karena pesta miras dan narkoba.” Wajah Parmin makin sayu, “sementara para perempuan muda termasuk putriku sendiri menjadi sasaran atas kebodohan kami, karena tidak sadar, kami mengamuk terhadap semua orang yang mencoba menghentikan perbuatan kami, sialnya yang mencoba menghentikan adalah istri dan anak-anak kami sendiri, akhirnya sebagian mereka pergi tak tahu kemana, sebagian lagi pergi tak bisa kembali lagi: mati. Lepas keluar dari panti rehabilitasi, kami disambut amukan Pak Camat, Pak Lurah pun tak bisa apa-apa.”
“Goblok kalian, goblok! Makanya sekolah, setidaknya kalian bisa tahu mana minuman keras, mana teh, mana susu, dan mana kencing sapi. Setidaknya, kalian bisa membedakan obat sakit kepala, obat sakit jiwa, dan obat sakit-sakitan. Goblok! Malu aku punya rakyat seperti kalian.” Sofi tertegun, perasaan rindu terhadap keluarganya tersamar oleh cerita Parmin.
“Sekarang beberapa pemuda di kampung ini, masih hidup di penjara, karena kasus pembunuhan yang tak diinginkan itu, sementara yang lain mati karena overdosis. Kami tahu, sejak awal kuliahmu kamu suka menulis artikel di koran mengenai penyakit konyol kampung ini. Pak Camat dan Pak Bupati juga mengatakan, mereka beberapa kali menerima surat darimu, supaya pemerintah mau memperbaiki kualitas kampung ini. Sekarang, lihatlah sekelilingmu, sudah ada taman baca, lihatlah jemuran-jemuran itu penuh seragam sekolah, semua karena tulisanmu dan kesabaranmu menuntaskan niatmu. Kamu telah berhasil, kamu menjadi inspirasi kampungmu sendiri. Lihatlah anak-anak itu, mereka sekarang ingin menjadi sepertimu: bisa sekolah setinggi-tingginya agar tak sebodoh orang tuanya. Dan kami tahu, kamu kuliah S2 dengan beasiswa. Kampung ini bangga kepadamu. Sekarang masuklah ada yang ingin menemuimu: keluargamu dan Pak Bupati yang rambutnya wangi. Maaf membuatmu menunggu.”
Karya: Teguh Supriyanto BSO LP Kusuka (Cerpen ini mendapatkan Juara 1 Nasional)
Bagus ceritanya, memotivasi..
Привет https://apple.com
Привет https://apple.com