Identitas Buku
Judul : Inilah Mazhabku: Mazhab di Atas Mazhab
Penulis : Haidar Bagir
Penerbit : Mizan Publishing House
Terbit : Oktober 2022
Tebal : 204 Halaman
Mazhab Ja’fari, yang juga dikenal sebagai Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah (yaitu Syi’ah Dua Belas Imam), adalah mazhab yang secara agama benar untuk diikuti cara ibadahnya, sebagaimana semua mazhab Ahlus-Sunnah lainnya.” –Syaikh Mahmud Syaltut (Imam Besar al Azhar)
Berjudul Inilah Mazhabku: Mazhab di Atas Mazhab, sekumpulan perenungan amat mendalam dari seorang penulis tentang polemik mazhab Syi’ah dan Ahlus-sunnah yang resmi tersusun di dalam sebuah buku. Terbit pada bulan Oktober tahun 2022. Ditulis oleh Haidar Bagir, seorang penulis produktif yang telah memberi banyak sumbangsih dalam buku-buku agama dan filsafat. Dilihat dari segi bahasa yang digunakan, teknik penulisan buku karya Haidar menggunakan bahasa formal serta gaya penyampaian yang terkesan lugas dan jelas pada poin yang ingin ditekankan.
Pada bagian awal, sang penulis menyatakan bahwa tidak ada niatan dalam dirinya untuk membukukan tulisan-tulisan tentang pertikaian Ahlus-Sunnah dan Syi’ah yang pernah ditulisnya. Sebab isu tersebut terkesan sensitif yang hanya akan menimbulkan perdebatan tiada ujung. Namun berkat respon-respon positif yang datang serta banyak orang yang pikirannya sudah lebih terbuka. Maka muncullah tekadnya untuk menuangkan pemikiran terkait isu Syi’ah dan Ahlus-sunnah dalam buku ini.
Garis besar buku “Inilah Mazhabku: Mazhab di Atas Mazhab” tidak membahas perbedaan antara Syi’ah dan Ahlus-sunnah secara meluas dan melebar. Buku ini justru menawarkan kepada pembaca kacamata baru dalam melihat polemik antara Syi’ah dan Ahlus-sunnah. Dalam buku ini pula Haidar menyatakan bahwa kehadiran buku ini sebagai bentuk rekonsiliasi antara kedua mazhab tersebut. Sehingga masalah perbedaan yang bercabang-cabang antara kedua mazhab tidak menjadi bagian kupasan utama dalam buku ini.
Pada bagian awal, Haidar menjabarkan perspektif pemikirannya tentang mazhab. Disini ia menjelaskan bahwa suatu mazhab hanyalah salah satu jalan untuk mencapai tujuan, sedangkan tujuan itu sendiri dalam beragama hanya ada satu. Sehingga fanatisme terhadap suatu mazhab tertentu dan memperdebatkan perbedaan-perbedaan antar mazhab satu dengan mazhab lainnya hanya akan membuang-buang waktu.
Haidar menyatakan bahwa terdapat macam-macam aliran dalam kedua mazhab Syi’ah serta mazhab Ahlus-sunnah. Yang menarik adalah bahwa antar sesama mazhab dalam Syi’ah memiliki perbedaan-perbedaan prinsip karena berbeda aliran. Begitu pula antar sesama mazhab dalam Ahlus-sunnah. Tidak semua aliran Ahlus-sunnah memiliki pemahaman yang sama dalam prinsip-prinsip hukum beragama.
Atas pernyataannya di atas, Haidar berpendapat bahwa tidak bisa menggeneralisasi mazhab Syi’ah hanya ada satu demikian pula Ahlus-sunnah. Sebab setiap aliran baik dari mazhab Syi’ah maupun Ahlus-sunnah memiliki prinsip dan pemahaman yang berbeda. Seperti halnya dalam isu pengingkaran terhadap ketiga khalifah sahabat nabi sebelum Ali bin Abi Thalib. Yakni sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin ‘Affan. Tidak semua aliran dalam mazhab Syi’ah berpandangan demikian. Seperti mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah yang tetap memuliakan ketiga khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib.
Begitu pula tuduhan terhadap Ahlus-sunnah. Tidak benar jika Ahlus-sunnah adalah kelompok yang membenci ahlul bait (keturunan nabi Muhammad SAW.). Banyak dari golongan Ahlus-sunnah yang memiliki kecintaan mendalam terhadap keturunan nabi. Sehingga saling menggeneralisasi dan menuduh sesat terhadap suatu mazhab tidaklah dibenarkan.
Selain itu, buku ini juga mengupas sejarah singkat tentang pengelompokan Syi’ah dan Ahlus-sunnah yang bermula dari konflik politik pada masa Sayyidina Ali dan Muawiyah. Tragedi perang shiffin yang menyebabkan umat Islam terpecah belah menjadi dua golongan. Golongan yang fanatik terhadap Ali dan meyakini bahwa khalifah yang sah di tangan Ali disebut golongan Syi’ah. Adapun golongan yang berada pada sisi Muawiyah dikenal dengan kaum khawarij.
Tidak terbatas di situ, penulis juga menuliskan kisah Karbala padang cinta. Sebuah tragedi besar dalam sejarah umat Islam. Peristiwa yang menewaskan cucu sang nabi yakni Sayidina Husain. Baik kaum Syiah dan Ahlus-sunnah sejatinya memiliki rasa duka mendalam atas kejadian itu.
Sebelum menuju bagian akhir, Haidar Bagir menuliskan hasil wawancaranya tentang sejarah Ahlus-sunnah dan Syi’ah: sejarah perdamaian. Dicantumkan beberapa pertanyaan serta jawaban terkait konflik yang menyulut antar kedua mazhab tersebut. Dijelaskan pula pandangan para ulama besar Syi’ah tentang Ahlus-sunnah dan ulama besar Ahlus-sunnah tentang Syi’ah. Sehingga terdapat diskusi yang berimbang dari kedua belah mazhab seperti tujuan awal buku ini ditulis. Yakni sebagai bentuk rekonsiliasi antara mazhab Syi’ah dan Ahlus-sunnah.
Pada bagian akhir buku ini dicantumkan Risalah Amman. Yakni sebuah deklarasi yang menyerukan toleransi dan persatuan antara umat Islam di dunia. Ada 3 poin utama yang yang terkandung dalam risalah tersebut. Pada poin pertama menyatakan bahwa siapapun yang mengikuti 4 mazhab sunni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta dua mazhab Ja’fari dan Zaidi; mazhab fikih Ibadhi dan mazhab fikih Zahiri, adalah seorang Muslim. Sehingga tidak boleh menganggap kafir sesama Muslim yang beriman kepada Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad Saw. adalah rasulullah, dan meyakini rukun iman, rukun islam, dan tidak mengingkari prinsip-prinsip agama qath’i (jelas).
Adapun pada poin kedua dijelaskan bahwa dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan pemahaman antar mazhab, jauh lebih banyak persamaan yang ada. Sebab pada dasarnya semua mazhab merujuk pada sumber utama yang sama yakni Al-qur’an dan hadis nabi. Dan pada poin terakhir dipaparkan bahwa dalam pengambilan sebuah fatwa, seseorang harus memenuhi kualifikasi dan kompeten akan ilmu yang disyaratkan. Sehingga tidak boleh bagi seseorang untuk berijtihad semata-mata berdasarkan subjektif opini pribadi tanpa memiliki kualifikasi dan ilmu yang memadai.
Oleh : Ahmad Ismail
Editor : Nur Rizki Fahmi Nugraha