Problematika Penerapan Jarimah Hudud di Era Kontemporer dalam Perspektif KH. Maimoen Zubair dan Syekh Ali Jum’ah

Perkembangan zaman dalam beberapa abad belakangan ini telah menghadirkan perubahan yang signifikan dalam standar norma kehidupan. Praktik-praktik yang dulunya dianggap sah dan wajar sekarang dianggap keliru atau bertentangan dengan norma zaman sekarang.

Salah satu contohnya adalah penerapan jarimah hudud, seperti rajam, potong tangan, cambuk, dan sebagainya, yang pada masa lalu diterima oleh masyarakat. Beberapa ulama mengklaim praktik ini sebagai syariat yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Namun, di era sekarang, tidak banyak umat Muslim yang dapat melaksanakan ajaran tersebut. Penyebabnya bervariasi, mulai dari sistem kenegaraan yang tidak memungkinkan, aturan tentang hak asasi manusia (HAM), hingga perubahan pemahaman umat Muslim terhadap ajaran tersebut.

Hal ini menjadi permasalahan yang kompleks mengingat hudud merupakan ajaran yang dianggap tidak dapat diubah karena melanggar nash-nash syariat. Akan tetapi, di sisi lain, ajaran ini tidak dapat dilaksanakan di beberapa negara, meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim. Oleh karena itu, dalam kajian ini, penulis  mencoba mengkaji pemikiran KH. Maimoen Zubair dan Syekh Ali Jum’ah mengenai penerapan jarimah hudud di era kontemporer.

KH. Maimoen Zubair, atau akrab disapa Mbah Moen, adalah putra pertama dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Lahir pada hari kamis legi bulan Sya’ban tahun 1347 H atau 1348 H bertepatan dengan 28 Oktober 1928 di Karang Mangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah.

Mbah Moen tumbuh dalam lingkungan pesantren dan mendapat pembimbingan yang ketat dari ayahnya, Mbah Zubair. Beliau menguasai banyak cabang ilmu Islam, seperti akidah, fikih, ilmu faraidh, dan tafsir. Selain itu, pada tahun 1945, beliau juga menimba ilmu di Pondok Lirboyo di bawah asuhan KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Ali, dan KH. Marzuqi.Tidak puas hanya menimba ilmu dari dalam negeri, beliau kemudian melanjutkan perjalanannya ke Mekkah. Di sana beliau bertemu dengan banyak tokoh besar semisal Sayyid Alawi Al-Maliki dan lainnya.

Akhirnya setelah melalang buana ke banyak tempat untuk menimba ilmu, pada tahun 1965 mbah moen pulang ke sarang dan membangun sebuah pondok yang dikenal dengan nama Pondok Pesantren Al Anwar. Pesantren ini beliau kelola sampai akhirnya beliau wafat pada 6 Agustus 2019 di Mekkah saat tengah melaksanakan ibadah haji.

Ada banyak karya yang dihasilkan oleh Mbah Moen semasa hidupnya, salah satu yang masyhur adalah kitab Al-Ulama’ Al-Mujaddidun yang membahas banyak hal yang terkait dengan penerapan ajaran-ajaran Islam pada saat ini. Salah satunya yaitu membahas perihal pelaksanaan hudud. Menurut beliau hudud merupakan salah satu dari hukum-hukum quraniyah tasyri’iyyah yang tidak bisa dipraktikkan di era ini. Akan tetapi, meskipun hukum tersebut tidak mampu untuk tetap dilaksanakan bukan berarti hukum hudud boleh diubah begitu saja.

Mbah Moen menyatakan bahwa hudud merupakan bagian hukum Islam yang tidak menerima ijtihad di dalamnya karena Al Qur’an sudah menjelaskannya secara gamblang. Menurutnya, yang perlu kita lakukan sekarang adalah senantiasa menjaga diri kita keluarga kita dan umat muslim sekalian dari perbuatan-perbuatan yang melanggar syariat. Lebih lanjut beliau menganjurkan kita agar senantiasa bersabar dan menanti suatu masa di mana pada saat itu hukum Islam akan dapat ditegakkan sebagaimana mestinya.

Akan tetapi, pendapat berbeda dilontarkan oleh Syekh Ali Jum’ah. Beliau merupakan salah satu ulama besar di Mesir yang menjabat sebagai mufti di lembaga Dar al Ifta’ Mesir selama 2 periode dari tahun 2003-2013. Ali Jum’ah memiliki nama lengkap Nur al-Din Abu Hasan ‘Ali bin Jum’ah bin Muhammad bin Abdul Wahab bin Salim bin Abdillah bin Sulaiman, al-Azhari al-Syarif al-Syafi’i. Beliau lahir di Bani Suwaif dari keluarga yang terhormat pada 3 Maret 1952 M/7 jumadil akhir 1371 H.

Karir pendidikan dari Syekh Ali Jum’ah juga cukup mentereng, pada tahun 1973 beliau menyelesaikan studi S1 nya di Fakultas Ekonomi Universitas ‘Ain Syams yang berlokasi di ‘Abbasiyah salah satu daerah di Kairo. Setelah menyelesaikan gelar sarjananya, beliau melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Universitas Al Azhar, tepatnya pada Fakultas Dirasat Islamiyyah. Pada saat menjalani masa studi di Al Azhar itu lah beliau banyak mendalami tentang ajaran Islam. Pada tahun 1979 M beliau menyelesaikan gelar sarjananya untuk kemudian melanjutkan ke jenjang pascasarjana pada Universitas yang sama dengan mengambil spesialis ushul fikih pada Fakultas Syari’ah wal al Qanun. Kemudian pada tahun tahun 1988 beliau mendapatkan gelar Doktornya dengan predikat Summa Cumlaude di Universitas dan fakultas yang sama.

Beliau menulis banyak karya, salah satunya berjudul Al Bayan Lima Yushghilu al-adhan. Dalam kitab ini beliau banyak memberikan jawaban terkait dengan berbagai macam persoalan yang banyak berkembang di masyarakat, salah satunya tentang penerapan hudud. Ali Jum’ah memandang hudud sebagai pencegahan terjadinya tindak kriminal. Menurut Ali Jum’ah hudud harus dipahami dari beberapa aspek.

Pertama, menurutnya hudud merupakan sebuah hukuman yang difungsikan untuk mencegah terjadinya kriminalitas, dengan begitu tidak dibenarkan menjadikan hudud sebagai ajang balas dendam.

Kedua, syariat menetapkan beberapa syarat agar hudud bisa dilaksanakan, dengan begitu jika syarat-syarat tersebut tidak ada maka tidak diperbolehkan melaksanakannya.

Ketiga, Syariat Islam adalah syariat yang berlaku umum di setiap tempat dan waktu. Sedangkan manusia berbeda-beda dalam mengontrol dirinya. Maka mestinya ada suatu hukuman sebagai penghalang bagi orang yang lemah dalam mengontrol diri atau hawa nafsunya agar tidak jatuh pada perbuatan keji, perbuatan dosa yang sampai kepada ditegakkannya hudud, keluar dari agama Islam atau kekacauan lain yang dapat menimpa seluruh masyarakat baik secara lahir maupun batin.

Dalam kesimpulannya, pandangan KH. Maimoen Zubair dan Syekh Ali Jum’ah mengenai penerapan jarimah hudud di era kontemporer memiliki perbedaan. Mbah Moen berpendapat bahwa walaupun jarimah hudud tidak dapat dilaksanakan sekarang, tetaplah menjaga diri dari pelanggaran syariat dan menanti masa di mana hukum Islam dapat ditegakkan sepenuhnya. Sementara itu, Syekh Ali Jum’ah melihat hudud sebagai upaya pencegahan kriminalitas dengan memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan oleh syariat.

Oleh: Muhammad Ali Maghfur

Editor: Ahmad Ismail

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *