Pesantren dalam Tantangan Sosial Keagamaan

Oleh: Muhammad Ali Magfur

Santri di PP Al Ghozali Sleman, Yogyakarta dan merupakan mahasiswa aktif Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia adalah pondok pesantren, ia merupakan sistem lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Kiprah pesantren dalam perkembangan bangsa ini tidak bisa dianggap sebelah mata. Sejarah telah membuktikan besarnya kontribusi yang diberikan lembaga ini sejak masa pra kolonial, hingga pada masa kini. Peran pondok pesantren masih menjadi suatu hal yang vital bagi pendidikan di Indonesia.

Menurut Sugarda Purwakawarja kata pesantren secara bahasa berakar dari kata santri yang mendapat awalan pe- dan akhiran –an yang berarti tempat bermukim dan belajarnya para santri. Pondok pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan  yang memiliki fungsi untuk meningkatkan kecerdasan bangsa, baik dalam segi ilmu pengetahuan, keterampilan maupun moral. Adapun, fokus utama pesantren adalah untuk membenetuk generasi yang memiliki karakter moral yang baik dan memiliki pemahaman agama yang mumpuni sebelum terjun ke masyarakat.

Secara historis, pesantren sejak awal didirikan merupakan sebuah lembaga pendidikan yang  selalu aktif dalam merespon problem sosial keagaaman baik dalam isu nasional maupun global. Beberapa contohnya antara lain:

Pertama pesantren pernah merespon tantangan global dalam menghadapi kolonialisme barat, yang ketika itu sedang gencar melakukan ekspansi-ekspansi ke negeri-negeri jajahannya, termasuk Indonesia. Respon tersebut  mencetuskan sebuah revolusi jihad yang akhirnya membuat Indonesia terbebas dari penjajahan asing.

Kedua, kalangan pesantren juga pernah tergabung dalam komite hijaz yang dipelopori oleh beberapa elit ulama. Tujuan komite ini adalah untuk memperjuangkan hukum bermadzhab kepada pemerintah Arab Saudi yang menganut faham Wahabi. Komite ini mengusulkan kepada pemerintah Saudi agar memberikan kebebasan kepada praktik bermadzhab dalam menjalankan agama di wilayah Arab Saudi.

Seiring dengan berkembangnya zaman persoalan-persoalan yang harus dihadapi dan direspon oleh pesantren juga semakin kompleks salah satu persoalan yang cukup serius di era kini adalah persoalan modernisasi atau kehidupan modern. Hal ini menjadi sebuah hal yang rumit karena pesantren yang terletak di Indonesia selama ini dipandang menekankan pada aspek-aspek tradisional dengan mengesampingkan kemampuan untuk mengembangkan diri dalam kehidupan modern.

Hal tersebut dapat kita amati melalui kurikulum materi yang ada di beberapa pondok pesantren di Indonesia walaupun tidak semua pesantren memiliki kurikulum yang sama. Beberapa materi yang diajarkan di beberapa pondok pesantren terbatas pada ilmu agama. Sedangkan ketika seorang santri kembali ke masyarakat mereka tidak hanya membutuhkan pengetahuan agama tetapi juga dengan pengetahuan umum dan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut terkadang membuat tamatan pondok pesantren tertinggal dalam urusan sosial kehidupan yang berakibat menjadi kurang mampu bersaing ketika ia kembali ke masyarakat.

Baca juga : RESENSI KITAB RISALATUS SHIYAM

Dalam usaha untuk merespon hal tersebut sebuah perubahan dan pembaharuan di dalam tubuh pesantren merupakan sebuah kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi. Hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan generasi-generasi yang tangguh, berpengetahuan luas, dengan kekuatan jiwa pesantren, yang tetap bersumber dari Al-Quran dan hadis.

Dalam usaha merespon kondisi yang ada saat ini pesantren harus melakukan perubahan format, bentuk orientasi dan metode pendidikan dengan catatan tidak sampai merubah visi, misi dan orientasi pesantren itu. Pesantren di era kini diharapkan untuk terus bertransformasi dalam usaha untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan sehingga peran pesantren bukan hanya sebagai sarana untuk transfer ilmu agama, kaderisasi ulama tetapi lebih dari itu pesantren pada era ini harus mampu membentuk karakter dan life skill para santri.

Selain itu, pola pengajaran yang banyak menggunakan kitab-kitab klasik abad pertengahan yang linear juga terkadang membuat para santri memiliki pemahaman yang kurang kontekstual dengan realita yang ada saat ini. Di era seperti saat ini paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan merupakan sebuah hal yang niscaya dalam perkembangan pemikiran keislaman.

Di era sekarang sebuah pemahaman tidak dapat lagi menggunakan model linearitas bidang ilmu yang ditonjolkan, tetapi studi fiqih, kalam, tafsir harus diintegrasikan dan diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu kelaman (seperti biologi, psikologi, sains, kedokteran dll), social studies (seperti sejarah, sosiologi, antropologi dll). Jika tidak, maka implikasi dan konsekuensinya akan jauh lebih rumit dalam tatanan lokal, regional, nasional, maupun global. Linearitas ilmu keagamaan akan membawa pandangan seseorang menjadi myopic dalam menanggapi sebuah realitas kehidupan dalam hal bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.

Dalam usaha untuk menyiapkan kader-kader santri yang baik, Idealnya ada  ”3H” yang harus dididikkan kepada para santri,di pondok pesantren.  Pertama, head (kepala). Artinya, mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan yang luas baik ilmu keagamaan ilmu kelaman maupun ilmu sosial. Kedua, heart (hati). Artinya, mengisi hati santri dengan iman dan takwa. Ketigahand (tangan). Artinya kemampuan bekerja dengan pelatihan-pelatihan yang kiranya berguna baginya ketika kelak kembali ke masyarakat.

Editor : Ida Rahayu

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *