Peran Mahasiswa NU Dalam Ruang Lingkup Kampus

https://nuvoices.or.id/ (dok. newsmedia.co.id)

Nahdatul Ulama adalah organisasi masyarakat yang didirikan oleh Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari yang bertempat lahir di Jombang pada tahun 14 Februari 1871 tepatnya di desa Tambak Rejo. Kealiman K.H Hasyim Asy’ari sendiri tidak perlu diragukan. Beliau pernah menimba ilmu kepada Syaikhona Kholil Bangkalan di Madura selama 5 tahun, melanjutkan pendidikannnya di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo yang dibawah bimbingan Kiai Ya’qub selama 2 tahun hingga akhirnya melanjutkan pendidikan ke tanah Makkah.


NU sendiri adalah organisasi keagamaan berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mempunyai pengikut terbesar se-Indonesia. Kiprahnya tak lagi diragukan dalam mencerdaskan para generasi muda bangsa dan mengawal ajaran agama Islam yang benar serta ikut serta dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Peranan mahasiswa sebagai agent of change harusnya mempunyai andil besar dalam ikut serta memajukan bangsa, menyebarluaskan, dan mempertahankan ajaran Aswaja dalam ruang lingkup kampus khususnya dan dunia pada umumnya. Akan tetapi, sepertinya sekarang menjadi hal yang mahal untuk dilihat. Mahasiswa pada era saat ini sudah mulai terkikis semangat dan kemampuan ilmu nya untuk mengetahui kewajiban tersebut dan mereka justru terlena akan kesenangan-kesenangan duniawi dan tipuan duniawi. Bahkan, sebagian mahasiswa menjadi bagian dalam dunia perpolitikan yang kotor.

Baca Juga: https://uinsuka.kmnu.or.id/santripreneur-pesantren-ekonomi-dan-indonesia-emas-2045/

Bukannya mahasiswa dituntut menjadi agen perubahan dan seharusnya menjadi pembeda dan penerang bagi lingkungannya? Dalam artian tau dan mau membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bukannya justru menjadikan hal tersebut menjadi sesuatu yang lumrah dan seharusnya terjadi.

Peranan mahasiswa dalam era sekarang ini terkhusus di dalam ruang lingkup kampus cenderung menjadi alat bagi para atasan dan para pemangku kepentingan untuk mencapai kepentingan-kepentingan tersebut. Entah kepentingan seperti apa yang ingin mereka sampaikan, tetapi dalam hal ini mahasiswa cenderung pasif dan hanya mengikuti arus saja tanpa memperdulikan mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan segala cara dan usaha mereka gunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Baca Juga: https://uinsuka.kmnu.or.id/takzim-terhadap-guru-sebagai-kunci-sukses-menuntut-ilmu/

Sebenarnya tidak masalah apa yang menjadi program dan target bagi setiap kelompok atau golongan tertenu yang berada di kampus untuk memiliki dan mencapai tujuan tersebut. Jika tujuan tersebut benar, maka seluruh lingkup dan progress untuk mencapai tujuan tersebut juga harus benar, jangan menjadikan suatu kebatilan sebagai sebuah kewajaran yang dibalut dengan dalih perjuangan, karena hal itu ibarat selusin emas yang dibungkus dengan balutan kotoran.

Sudah saat nya dan seharusnya mahasiswa melek (membuka mata) akan hal itu. Bukankah sebuah kebenaran tetap menjadi sebuah kebenaran dan sebuah keburukan tetap menjadi sebuah keburukan? Mahasiswa harus bisa dan berani membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Karena sudah seharusnya seperti itulah peranan mahasiswa. Mengutip pernyataan Gus Dur dalam dawuhnya “Bangsa ini menjadi penakut! Karena tidak berani dan tidak mau bertindak menghukum yang bersalah”. Wallahu A’lam.

gambar: https://nuvoices.or.id/ (dok. newsmedia.co.id)

Penulis : Ahmad Navid Dzauqil Amin, Santri 8 Fakultas Bisri Syansuri.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *