Al-Qur’an merupakan teks yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril, yang diturunkan secara mutawatir. Dalam al-Qur’an tidak hanya membahas mengenai ayat ahkam, kisah, sejarah, namun juga membahas mengenai bagaimana alam semesta ini diciptakan. Penciptaan alam menjadi isu yang dabateble sepanjang sejarah sampai saat ini. Proses penciptaan alam dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara detail, hanya bersifat prinsip-prinsip dasarnya saja.
Adanya alam semesta saat ini merupakan bukti besar akan eksistensi al-Khalik (Sang Pencipta) sebagaiamana tertulis dalam al-Qur’an, “Allah pencipta langit dan bumi, Apabila menghendaki menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata Jadilah, Maka jadilah itu.” Penciptaan alam semesta menunjukkan kedahsyatan kuasa Allah. Terciptanya alam semesta tidak hanya sebagai wujud rahmat dari Allah, melainkan sebagai ujian pada hamba-hamba-Nya dalam memanfaatkan alam semesta dengan sebaik-baiknya. Selain itu, ada ayat yang menyatakan bahwa penciptakaan langit dan bumi itu berdurasi sittah ayyâm (6 masa) sebagaimana dalam ayat berikut:
{الَّذِي خَلَقَ السَّماواتِ وَالْأَرْضَ وَما بَيْنَهُما فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ..}
“(Dialah) yang menciptakan langit, bumi, dan antara keduanya dalam enam hari…” (Q.S. Al-Furqan: 59).
Proses penciptaan alam semesta selama 6 masa tidak dijelaskan secara rinci mulai dari hari pertama sampai keenam. Namun dalam Hadist dijelaskan bahwa “Allah menghasilkan langit dan bumi pada hari ahad serta senin, kemudian menghasilkan gunung-gunung pada hari selasa, kemudian pepohonan pada hari rabu, serta menciptakan infrastruktur bumi dan menyempurnakan langit pada hari kamis, menciptakan bintang bintang, matahari pada hari jumat sampai tersisa 3 masa pada saat itu.
Sedangkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dikatakan bahwa, “Dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah memegang tangannnya lalu bersabda: Allah menciptkan bumi pada hari sabtu, menciptakan gunung pada hari minggu, menciptakan pepohonan pada hari senin, menciptkan hal yang tidak disukai pada hari selasa, menciptakan nur pada hari rabu, menebarkan hewan pada hari kamis, dan menciptakan adam sesudah asar pada hari jumat”.
Mengenai jangka waktu proses penciptaan alam semesta menggunakan diksi sittati ayyam, kata ayyam merupakan jamak dari yaum (hari), yang seringkali didefinisikan dengan min thuli’al-syamsi ilaa magharibiha (terbit matahari sampai matahari terbenam). Menurut Al-Qurthubi Ayyam disini bermakna hari di akhirat, yang setiap harinya lamanya 1000 tahun, sedangkan menurut Imam Ahmad dan Ibnu Abbas hari dalam ayat tersebut sama seperti hari di dunia saat ini. Sementara Menurut Imam Fakhruddin Al-Razi sebelum keberadaan matahari atau benda angkasa, waktu itu sudah ada. Imam Al-Razi menyebutnya dengan al-muddah al-mutawahhamah atau sebuah waktu yang diimajinasikan (Penulis belum menemukan terjemahan yang tepat untuk terma ini) –Wallahu a’lam. Waktu ini tidak menerima penambahan (ziyâdah), pengurangan (nuqshân), dan pembagian (tajzi’) dan belum memiliki bilangan paten.
Menurut penulis perhitungan hari dalam penciptaan alam semesta tidak bisa disamakan dengan hitungan hari seperti saat ini, dimana sudah ada bumi dan matahari, karena ketika saat itu belum ada matahari bahkan alam semesta belum diciptakan, sehingga tolak ukur hitungan waktu termasuk hari, bulan, tahun belum dikenal. Baru setelah selesai penciptaan alam semesta usai, hitungan hari mulai dikenal oleh manusia. Sedangkan menurut Ath-Thantawi yaum dalam ayat tersebut ibarat metafora saja dari masa ke masa yang Panjang dan hanya Allah yang mengetahui maksudnya, hal ini sejalan dengan kaidah “Makna lebih luas dari pada ibaroh (lafad, text)”.
Perlu dipahami juga bahwa, mengapa Allah perlu waktu 6 hari dalam penciptaan alam semesta? Imam Fakhruddin Al-Razi menjawab bahwa Tuhan bisa saja menciptakan segalanya dalam sekejap. penciptaan yang memiliki proses tidak membuktikan ketidakmampuan Tuhan dalam menciptakan dalam sekejap. Sedangkan menurut Imam Al-Qurthubi jika Allah menghendaki, penciptaan alam semesta hanya dalam sekedipan mata cukup mengatakan kun fayakun. Allah memiliki kehendak yang bebas dan mutlak, terserah Allah ingin mengadakan alam ini kapan dan bagaimana bentuknya, karena Allah maha kuasa. Dia bisa menciptakan alam dalam waktu tertentu dan juga mampu meniadakannya.
Adapun pandangan mengenai apakah alam semesta dijadikan dari yang tiada atau tidak, ulama berselisih. Menurut al-Kindi alam semesta ini diciptakan Tuhan dari tidak ada (creatio ex nihilo) menjadi ada. Namun menurut al-Farabi penciptaan alam semesta oleh Tuhan melalui proses emanasi sejak zaman azali, sedangkan Ibnu Rusyd berpandangan sesuatu yang tidak ada, tidak mungkin berubah menjadi ada, yang mungkin terjadi adalah sesuatu yang ada berubah menjadi ada namun dalam bentuk yang lain. Menurut Ibnu Rusyd qadim-nya alam dan Tuhan adalah sesuatu yang sama namun berbeda tingkatan, sama-sama azali, tetapi Tuhan memiliki tingkat keazalian yang lebih utama dibandingkan alam. Menurutnya, alam memiliki keqadiman sendiri, yaitu ada dari dahulu namun diciptakan oleh qadim yang mencipta. Jadi alam semesta adalah qadim yang dicipta, sedangkan Tuhan adalah qadim yang mencipta.
Pandangan-pandangan filosof terkait keqadiman alam dikritik oleh Imam Ghazali, sesungguhnya alam semesta ini adalah yang meliputi segalanya, baik itu diluar maupun didalam, baik hal kecil maupun besar, alam juga merupakan hal yang baru (tidak qadim). Alam semesta itu diciptakan dan setiap yang diciptakan pasti berawal dan akan berakhir, karenanya alam adalah baru.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa hakikat alam secara umum adalah segala sesuatu selain Allah (ma siwallah). Oleh karena itu, alam semesta mencakup seluruh yang ada diantara langit dan bumi. Al-Qur’an secara eksplisit membagi konsep penciptaan alam semesta (langit dan bumi) dengan enam tahap, namun tidak menjelaskan proses penciptaaan secara detail. Penciptaaan alam semesta memiliki tujuan untuk sarana yang menghantarkan manusia pada pengetahuan dan pembuktian tentang kemahakuasaan Allah. Wallahu a’lam
Penulis : Humairoh Wahidatul Izzah, santri 8 KMNU UIN Sunan Kalijaga
Editor : Alfaenawan, Santri 7 KMNU UIN sunan Kalijaga.