(Oleh: Muhammad Ali Magfur seorang mahasantri di PP Al Ghazali Sleman, Yogyakarta dan juga merupakan mahasiswa aktif Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab)
Tepat di tanggal 17 Agustus 2022 kemerdekaan Indonesia sudah mencapai angka ke-77. Perayaan kemerdekaan dilakukan dengan semarak di berbagai daerah. Mulai dari upacara, lomba agustusan, tirakatan, dan masih banyak lagi ragam seremoni yang dilakukan oleh penduduk Indonesia untuk merayakan kemerdekaannya dari penjajah.
Masyarakat Indonesia setiap tanggal 17 Agustus merayakan proklamasi kemerdekaan yang di lakukan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945 silam. Momen ini dianggap sebagai momentum terbebasnya Indonesia dari imperialisme dan kolonialisme bangsa lain. Tapi pada dasarnya praktik imperialisme dan penjajahan juga sudah banyak berubah. Mari kita lihat praktik imperialisme yang mungkin saja akan kita alami.
Imperialisme sendiri merupakan kebijakan yang dilakukan oleh suatu negara untuk mengendalikan dan menguasai negara atau wilayah lain. Tujuan imperialisme sendiri tidak hanya untuk menguasai, tetapi juga terdapat beberapa tujuan lainnya. Secara sederhana, imperialisme juga bisa didefinisikan sebagai suatu sistem yang dilakukan oleh pemerintahan dalam suatu negara untuk mengendalikan negara lain.
Penguasaan terhadap negara lain di era kini pun tentu berbeda dengan apa yang terjadi di masa lampau. Di masa penjajahan dulu penguasaan sebuah negara hanya bisa dilakukan dengan serangan fisik baik menggunakan senjata atau pun semisalnya. Tapi Pertempuran pada era sekarang tidak lagi berbasis pertempuran di medan perang seperti yang terjadi pada perang dunia pertama maupun kedua. Di era globalisasi seperti ini pertarungan sebenarnya terletak pada pola pikir, ide, gagasan-gagasan yang mempertaruhkan ideologi dan tradisi sebuah bangsa. Dalam medan peperangan pun perangkat peperangan sudah tidak menggunakan berbagai senjata fisik, melainkan lebih mengedepankan sebuah metodologi abstrak yang oleh karenanya, jika tidak disadari, pihak lawan akan runtuh oleh anak bangsanya sendiri.
Baca Juga : Pesantren dalam Tantangan Sosial Keagamaan
Kini sebuah negara tidak perlu mengirimkan pasukan untuk bertempur di medan perang, tetapi cukup memiliki pelanggan yang loyal dan fanatik terhadap produk dan jasa yang merupakan pasukan siap membela dan menjaga keberlangsungan perang ini. Teknologi merupakan sebuah influencer yang efektif terutama dalam menyebarkan pengaruh-pengaruh budaya ke berbagai belahan dunia tidak terkecuali Indonesia.
Harari (2015) dalam Homo Deus menyatakan bahwa peperangan seperti yang terjadi di perang dunia pertama atau kedua sudah tidak mungkin terbayangkan terjadi di masa kini (meski potensinya tetap ada). Hal ini terjadi karena ekonomi global telah bertransformasi dari ekonomi yang berbasis materi menjadi ekonomi yang berbasis pada pengetahuan. Dulu para penjajah melakukan imperialisme ke negeri-negeri jajahannya untuk merebut materi-materi yang ada di negeri jajahannya seperti rempah-rempah, bahan tambang dll. Akan tetapi di era kini pengetahuan tidak dapat diperebutkan dengan jalur peperangan.
Harari kemudian memberikan sedikit gambaran. Pada tahun 1998 Rwanda menginvasi negara tetangganya, Kongo, untuk menjarah tambang coltan yang berguna untuk pembuatan telepon seluler dan juga laptop. Hasil yang diperoleh oleh Rwanda dari hasil perampasan itu berkisar pada 240$ juta setiap tahun. Uang tersebut setara dengan penghasilan China dalam waktu sehari hanya dengan melakukan kerja sama dengan raksasa teknologi seperti apple dan microsoft.
Dari gambaran di atas layaknya memang pertimbangan untuk melakukan penjarahan atau penjajahan kepada bangsa lain melalui serangan fisik sudah akan sangat jarang bahkan tidak mungkin. Ya sebab risikonya yang terlalu besar dan jumlah yang didapatkannya tidaklah sepadan. Peperangan di era sekarang akan lebih terpusat pada perang cyber. Orang di masa depan bisa saja meledakan bom-bom logika untuk mematikan listrik, mengacaukan penerbangan, menyebabkan tabrakan kereta api dengan cara memecahkan sandi-sandi rahasia yang ada tanpa harus menenteng senjata ke tanah jajahannya.
Oleh karena itu, bahaya yang ada di depan ini harus kita hadapi dengan saling bergandeng tangan, merekatkan persaudaraan dan saling bekerja sama untuk memajukan Indonesia. Rakyat di negara ini harus sudah mulai sadar apa yang menjadi tantangan di depan. Jangan sampai rakyat terpecah belah hanya dengan masalah sepele pinggiran seperti masalah toa, wayang, dukun, dll. Rakyat Indonesia harus mulai untuk berinovasi dan untuk memajukan kreasi anak bangsa agar bangsa ini dapat berdaulat dan berdiri sendiri tanpa banyak dukungan pihak luar. Ya minimal ketika kominfo memblokir situs luar negeri yang dianggap berbahaya di Indonesia tidak banyak yang protes, karena produk dalam negeri sudah siap menggantikannya.
Momentum kemerdekaan Indonesia ini harus kita jadikan sebuah momen persatuan antar warga negara Indonesia. Jangan sampai negara ini pecah belah hanya karena masalah beda calon presiden, apalagi karena perdebatan pesulap merah dan salah satu dukun itu.
Harari dalam bukunya Homo Deus mengingatkan kita bahwa kemenangan selalu lebih condong pada mereka yang mampu bekerja sama dengan lebih baik. Seperti ketika Romawi berhasil menaklukkan Yunani. Hal itu menurutnya, bukan dikarenakan Romawi memiliki kekuatan atau otak yang lebih cerdas, melainkan karena mereka mampu bekerja sama dengan lebih efektif.
Contoh lain yang diajukan Harari adalah tentang tiga juta elite Rusia yang menguasai sekitar 180 Juta petani dan buruh. Pada skala jumlah dan kekuatan seharusnya elite Rusia tidak akan mampu bersaing dengan para petani dan buruh. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi karena elite Rusia tau bagaimana cara bekerjasama dengan baik, sedangkan 180 juta rakyatnya tidaklah mampu melakukan mobilisasi dengan secara efektif. Sehingga perlawanan secara individu atau beberapa kelompok yang kurang terstruktur tidaklah mampu untuk melakukan perlawanan.
Editor : Ida Rahayu