Kajian Hermeneutika terhadap “KONTROVERSI MENGUCAPKAN SELAMAT HARI NATAL”

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman, mulai dari multi etnis, multi suku, multi culture, sampai multi religi. Dengan adanya keberagaman tersebut, masyarakat indonesia rentan terjadi konflik, permusuhan, maupun perpecahan. Oleh karena itu, kemajemukan masyarakat hendaknya dimanage secara intens, salah satunya dengan pengamalan moderasi beragama. Moderasi beragama dianggap sebagai instrumen yang relevan dan efektif demi mewujudkan kerukunan antar umat beragama.

Salah satu isu keagamaan yang aktual disaat ini adalah mengenai diskursus mengucapkan selamat hari raya bagi umat agama non-islam, seperti mengucapkan Selamat Hari Natal pada umat kristen. Isu ini cukup gencar di berbagai mimbar keagamaan dan media sosial, sehingga menimbulkan kebingungan, bahkan kegaduhan terutama bagi masyarakat awam.

Para tokoh agama, ulama juga memiliki perbedaan pendapat tentang mengucapkan Selamat Natal, setidaknya terbagi menjadi 2 pendapat, ada yang membolehkan dan juga ada yang mengharamkan. Pandangan yang mengharamkan ucapan natal seringkali merujuk ulama seperti Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibn Shalih al-Utsaimin, dll. Pendapat ulama ini didasarkan atas berbagai ayat al-Qur’an yang terdiri QS. Al-Zumar: 7, QS. Al-Maidah: 3, QS. Al-Maidah: 48, QS. Ali Imran: 85, dan hadis tentang tasyabuh.

Pandangan kontra terhadap ucapan natal didasarkan karena adanya potensi kekufuran, bersebrangan dengan akidah islam, tasyabbuh (menyerupai umat nashrani), dll. Sebagaimana sabda Nabi:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka

Larangan mengucapkan Selamat Natal dikarenakan ucapan tersebut disertai dengan keyakinan/pengakuan ketuhanan yesus kristus hingga mengimani konsep triteisme (tiga tuhan). Oleh karena itu, jelas bertentangan dengan akidah umat islam, jangankan mengucapkan selamat, sekedar berkeyakinan dalam hati saja tidak diperbolehkan, apalagi mengikuti perayaan atau aktivitas akan membantu terlaksananya upacara hari natal.

Pandangan yang mengharamkan ucapan Natal setidaknya lemah dalam 3 level. Pertama, konsep 3 Tuhan dalam Nasrani itu merupakan konsep yang rumit. Tidak bisa menyamakan antara konsep triteisme dengan trinitas. Bahkan terdapat pandangan bahwa triteisme itu bukan menganggap bahwa Nabi Isa itu sebagai anak biologis Tuhan, tetapi merupakan utusan, kekasih Tuhan yang sangat dicintai. Konsep ketuhanan dalam kristen tidak tunggal, dan masih berpotensi terkategorikan dalam konsep monoteisme (Satu Tuhan). Kedua, dalam hal Muamalah maka prinsip yang digunakan adalah kaidah “Dalam Muamalah pada dasarnya semua diperbolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”, sehingga apabila ditelisik secara mendalam dalam al-Qur’an maupun Sunnah tidak terdapat dalil yang mengharamkan Mengucapkan Selamat Natal secara detail. Pandangan yang mengharamkan hanya menggunakan teks keagamaan secara harfiah, tekstual. Selain itu, dalam memahami pemikiran para ulama hendaknya memahami sosio-kultural yang melatarbelakangi pemikirannya tersebut. Tidak bisa menggunakan ijtihad, fatwa keagamaan secara apa adanya dan sembarangan. Sebagai contoh pemikiran Ibnu Taimiyah itu cukup kontroversial dikarenakan beliau hidup di era yang juga kontroversial, terdapat situasi ancaman dari umat non-islam, dll. Sehingga situasi tersebut mempengaruhi paradigma beliau dalam berijtihad. Sehingga produk pemikiran yang ada pada saat itu tidak relevan dengan kondisi saat ini, apalagi dalam konteks plural seperti Indonesia.

Landasan ketiga, banyak intelektual muslim yang berpandangan bahwa mengucapkan selamat natal itu diperbolehkan, seperti Syaikh Yusuf Qaradhawi, Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh Musthafa Zarqa, Syaikh Nasr Farid Washil, Syaikh Abdullah bin Bayyah, Syaikh Ishom Talimah, dan Prof. Quraish Shihab. Menurut M. Quraish Shihab dalam al-Qur’an terdapat indikasi diperbolehkan mengucapkan Selamat Natal. Hal ini didasarkan pada Q.S Maryam: 33. Allah befirman:

وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup (kembali).” (QS. Maryam: 33)

Ucapan selamat natal atas kelahiran Isa a.s sudah jelas termaktub dalam al-Qur’an (Qs. Maryam:33). Seperti halnya ucapan salam dari firman Allah kepada nabi Nuh, Ibrahim, Harun, Keluarga ilyas serta para nabi lainnya.

Dalam konteks Indonesia yang beragam agama. Maka elemen penting yang harus diimplementasikan adalah Kerukunan antar umat beragama, berhubungan baik tanpa memandang perbedaan agama, menghormati, dan menghargai dengan umat yang berbeda agama, termasuk dalam mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat kristiani, selama tidak bertentangan dan melanggar terhadap syariat islam. Sebagaimana diungkapkan oleh Habib Umar Bin Hafidz, “Kita boleh bertoleransi selama akidah kita tidak terganggu dari segi nilai, moral dan akhlak. Karena segala sesuatu yang masih mengandung unsur kebaikan, keadilan dan perbuatan yang ma’ruf (kebaikan) kepada semua orang bahkan semua makhluk” Berdasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Mumtahanah:8-9:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarangmu (berteman akrab) dengan orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama, mengusirmu dari kampung halamanmu, dan membantu (orang lain) dalam mengusirmu. Siapa yang menjadikan mereka sebagai teman akrab, mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Kandungan ayat ini menegaskan bahwa islam mengajarkan berbuat kebaikan tidak memihak kepada siapapun latar belakang agamanya, selama tidak melanggar terhadap syariat, aqidah dan prinsip-prinsip dasar islam, seperti mengikuti ritual keagamaan non-muslim, membantu dalam perkara haram, mendukung kekufuran, merelakan identitas keislaman demi keharmonisan dengan non-muslim, dan lain sebagainya. Karena sesungguhnya Allah SWT menyukai kepada orang-orang yang berbuat adil dan kebaikan kepada sesama. islam tidak mengajarkan kebencian, permusuhan, dan perseteruan terhadap antar umat beragama. Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa memang terdapat pro-kontra dalam memandang hukum mengucapkan natal. Namun kontroversi tersebut hanya bersifat retorika (al-khulf lafdzi), sehingga pada dasarnya mengucapkan Selamat Natal itu diperbolehkan selama tidak disertai dengan keyakinan yang menyebabkan pada kekufuran dan melanggar prinsip dasar dalam syariah. Kebolehan mengucapkan natal setidaknya didasarkan atas tiga landasan yaitu berkaiatan dengan niat, konsep ketika mengucapkan natal. Kemudian dalam memandang permasalahan ini hendaknya didasarkan atas kaidah “Pada dasarnya dalam muamalah itu mubah, kecuali ada dalil yang mengharamakan”. Selain itu, terdapat ayat al-Qur’an yang mengindikasikan kebolehan mengucapkan selamat natal, serta diperkuat oleh dalil-dalil lainnya berkaitan dengan tasamuh.

M Alfarizi Putra , Santri 7 KMNU UIN SUKA

Alfaenawan, Santri 8 KMNU UIN SUKA

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *