Jalan Panjang Menemukan Arti Kemanusiaan Perempuan

Awalnya saya mengira menjadi perempuan adalah sebuah kutukan. Bagaimana tidak? Waktu masih kecil, saya kebetulan memiliki kulit sawo matang dan cenderung hitam ini sering dijadikan bahan olok-olok oleh orang lain. Jiwa anak kecil yang tidak tau apa-apa ini hanya bisa berkata dalam hati “Memangnya kenapa jika memiliki kulit yang tidak putih?”. Berbeda dengan anak laki-laki yang mungkin tidak terlalu dipermasalahkan warna kulitnya. Beruntung saya mempunyai ibu yang sangat suportif. Ketika lingkungan sekitar mengolok-olok warna kulit saya, beliau akan selalu menenangkan dengan ngendika “Tidak apa-apa yang penting sehat”.

Begitupun ketika saya mulai mengenal standar kecantikan yang telah lama beredar di masyakarat bahwa perempuan yang cantik itu dia yang bertubuh langsing, kulit putih, hidung mancung, rambut panjang, dan lain-lain. Padahal manusia diciptakan dengan sangat beragam dan dunia bukan hanya perihal hitam atau putih saja. Saat itu saya masih remaja dan kebetulan berkeinginan untuk diet (dalam artian memangkas berat badan dengan cara makan yang sangat sedikit tanpa memperhatikan takaran gizi yang ada di dalamnya karena belum paham dengan konsep diet sehat). Ibu menjadi orang pertama yang melarang untuk diet dengan alasan masa remaja ialah masa pertumbuhan yang pasti membutuhkan asupan makanan dengan porsi  cukup dan takaran gizi seimbang. Tanpa disadari, sebenarnya semenjak kecil saya sudah mengenal konsep women support women dari ibu saya.

Baca juga: Apa yang Salah Bukan Siapa yang Salah

Ketika masuk dunia perkuliahan, saya mulai mengetahui tentang kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus seperti ini nyata adanya walaupun sering disepelekan. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada tanggal 6 Maret 2020 tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Data kekerasan yang dilaporkan mengalami peningkatan signifikan sepanjang lima tahun terakhir (www.komnasperempuan.go.id). Kekerasan terhadap perempuan sering diibaratkan seperti fenomena gunung es, hanya permukaannya saja yang terlihat. Tentu masih banyak kasus yang tidak terungkap karena disebabkan oleh banyak hal di antaranya yaitu ketidaktahuan korban untuk melapor kepada siapa, takut mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitar, ancaman yang diberikan oleh pelaku, tidak mempunyai akses ke lembaga penyedia layanan seperti women crisis center atau yang lainnya.

Pemberitaan media dengan judul yang memojokkan perempuan korban kekerasan juga berpotensi menambah trauma yang dialaminya. Bahkan ketika ada kasus pembunuhan yang korbannya merupakan perempuan, tidak sedikit beredar berita dengan judul “Mayat Cantik Ditemukan Tewas di Perkebunan Teh” misalnya. Begitulah perempuan, sudah menjadi mayat atau bahkan menjadi hantu saja masih diobjektifikasi. Segala sesuatu yang melekat pada tubuhnya selalu lebih nyaring dibicarakan ketimbang apa-apa yang telah dia lakukan untuk lingkungan sekitar, misalnya karya, peran, pemikiran ataupun yang lainnya.

Belum lagi dengan pemahaman agama yang bersifat misoginis menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka terdengar lebih populer daripada pemahaman agama yang ramah terhadap perempuan. Padahal saya yakin bahwa agama yang saya anut dan saya yakini tidak mungkin membenci dan merendahkan perempuan. Sempat saya bertanya-tanya mengenai hal ini.  Akan tetapi, saya tidak kunjung menemukan jawabannya hingga akhirnya bertemu dengan lingkaran pertemanan dan diskusi bersama BSO Keputrian KMNU UIN Sunan Kalijaga serta forum Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam) yang diampu oleh Ibu Dr. Nur Rofiah Bil, Uzm.

Baca juga: Ibu dan DNA Mitokondria

Dari lingkaran pertemanan dan diskusi mengenai keperempuanan, saya belajar bahwa perempuan juga manusia seperti laki-laki, keduanya merupakan subjek penuh atas kehidupan ini. Perempuan dan laki-laki adalah hamba Allah, hanya hamba Allah, tidak ada yang lebih rendah maupun lebih tinggi, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan bukan jenis kelaminnya. Islam hadir untuk menghapus segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Saya semakin yakin bahwa rahmat islam ditujukan untuk laki-laki dan perempuan sekaligus, bukan salah satunya.

Ester Lianawati dalam buku “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan” menuliskan kalimat yang sangat mengena bagi saya, kalimat tersebut berbunyi “Perempuan tidak harus merasa cantik untuk dapat mencintai diri sendiri, sebab nilai perempuan tidak hanya ditentukan dari kecantikannya. Jangan jadikan kecantikan sebagai tirani, kita bukan tahanan dalam tubuh kita sendiri”. Selamat Hari Perempuan Internasional. Teruntuk saya dan siapapun yang sedang merasa insecure dengan tubuh sendiri karena masih mengamini standar kecantikan yang ada.

Jangan berlarut-larut merasa insecure dengan tubuh sendiri. Masih banyak hal yang bisa  disyukuri seperti denyut nadi, hembusan nafas serta kenikmatan-kenikmatan lain yang telah Allah berikan. Teruntuk perempuan yang diharuskan untuk memilih, semoga apa yang kita pilih benar-benar berdasarkan pemikiran yang matang tanpa paksaan dan tekanan dari siapapun dan apapun. Dan untuk siapapun yang sedang memperjuangkan pilihan yang telah diambil dengan penuh kesadaran semoga dikuatkan langkahnya untuk menjalani semua ini. Send a virtual hug for all women who support each other.

Penulis: Nila ‘Uyun Haqiqi

Ia bermukim di @nilauy_

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *