Ir. H. Salahuddin Wahid: Arsitek Pendidikan

https://asset-2.tstatic.net/tribunnewswiki/foto/bank/images/pengasuh-pesantren-tebuireng-jombang-jawa-timur-kh-salahuddin-wahid.jpg

Tokoh Politik, Pendidikan Nasional dan HAM ini dikenal sebagai tokoh yang tenang dalam bepikir dan bertindak namun tegas dalam berbicara. Low-profile tercermin pada adik presiden ke-empat ini. Dia juga meraih Doktor Honoris Causa di tahun 2011 bidang Managemen Pendidikan.

“Kewajiban pemerintah untuk menyediakan semua hal yang diperlukan supaya pendidikan yang bermutu bisa dinikmati rakyat Indonesia secara merata”, kata tokoh politik ini. Gus Sholah menambahkan bahwasanya, “sangat banyak anak Indonesia yang tidak dapat menikmati bangku sekolah karena harus berkerja membantu orang tua mereka. Padahal Undang-undang melarang anak ikut bekerja, dikarenakan orang tuanya tidak cukup uangnya”, imbuhnya dengan tegas. Menurutnya, itu kesalahan pemerintah karena tidak mampu menyediakan cukup lapangan pekerjaan untuk masyarakat, sehingga banyak anak yang tidak bisa mengenyam bangku sekolah.

Ir. H. Salahuddin Wahid yang biasa dipanggil dengan nama Gus Sholah, tentu bukan nama yang asing di telinga masyarakat Indonesia. Bagi mayoritas kalangan, adik KH. Abdurrahman Wahid ini dikenal sebagai sosok yang karismatik dan disegani.

Gus Sholah lahir pada tanggal 11 September 1942 yang merupakan anak ke-tiga dari enam bersaudara dari pasangan KH. Ahmad Wahid Hasyim dan Hj. Solehah. Walaupun lahir di tengah kultur keagamaan yang sangat kental, itu tidak membuat pola pikir beliau jadi kolot.

Pada saat Gus Sholah masih mengenyam bangku pendidikan, beliau sudah aktif mengikuti berbagai organisasi-organisasi baik intra maupun ekstra seperti OSIS, Senat Mahasiswa dan PMII. Selain itu, Gus Sholah juga banyak menghadiri seminar-seminar baik secara delegasi maupun inisiatif sendiri.

Pada 2006, Gus Sholah dipercaya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, untuk menggantikan paman beliau KH. Yusuf Hasyim karena uzur (halangan) sampai Gus Sholah wafat yaitu pada tahun 2020.

Pengalaman berorganisasi Gus Sholah antara lain Kepanduan Ansor, menjabat Wakil Ketua OSIS SMAN 1 Jakarta, anggota pengurus Senat Mahasiswa (SEMA), bendahara Dewan Mahasiswa (DEMA) ITB, ketua PMII ITB, wakil ketua PMII Komisariat Bandung, Anggota Persatuan Insinyur Indonesia, anggota Ikatan Arsitek Indonesia dan ketua DPD Ikatan Konsultan Indonesia (Inkindo). Selain itu, Gus Sholah juga pernah aktif sebagai Dewan pembina Yayasan Hasyim Asyari, Dewan Pembina Yayasan Mambaul Maarif, konsultan Arsitektur, penulis lepas di beberapa Media, pembicara di berbagai acara dan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng.

Wajib belajar di Mata Gus Sholah

Saat disinggung mengenai wajib belajar Gus Sholah langsung melempar pertanyaan balik, Istilah wajib belajar itu, maksudnya apa?, ujar Gus Sholah. Dia menambahkan bahwasanya Istilah wajib seperti istilah wajib militer, seakan-akan bila tidak belajar dikenakan sanksi. Menurut Gus Sholah istilah wajib belajar diganti dengan istilah hak belajar.

Gus Sholah menekankan bahwasanya hak untuk belajar, hidup, mendapat pelayanan kesehatan dan memperoleh pekerjaan telah dijamin oleh Undang-undang dasar. “Pemerintah harus menjamin lapangan pekerjaan bagi rakyat, agar anak tidak perlu bekerja. Jika tidak, ya jangan jadi pemerintah”, tegasnya.

Pendidikan Karakter

” Pendidikan karakter itu mudah dibicarakan, tapi susah dilaksanakan”, jawab Gus Sholah saat ditanya soal pendidikan karakter. Menurutnya, tidak mudah membentuk karakter jika tidak ada kesinambungan antara perkataan pendidik dengan perilaku pendidik itu sendiri. “TV adalah guru kita yang paling sering ketemu dengan kita, SKS-nya berapa itu?”, canda tokoh pendidikan ini. Beliau melihat bahwa kebanyakan yang ditayangkan di TV jauh dari ranah pendidikan. “Banyak menayangkan pejabat saling memaki, ditangkap dan mereka tidak menyesal”, tambahnya.

“Tidak ada murid yang buruk, yang ada hanya guru yang buruk”

Menanggapi anekdot di atas, Gus Sholah dengan tenang mengatakan bahwasanya sebenarnya guru bukan satu-satunya yang memberikan pendidikan kepada anak. Jika melihat lebih awal, yang memberi pendidikan kepada anak adalah orang tua dari anak-anak itu sendiri. “Orang tua yang mengenalkan nilai-nilai kehidupan, mengajarkan agama, mengajari etika dan akhlak kepada anak”, tukas aktivis pendidikan ini. Bahwasanya guru hanya meneruskan, membatu dan mengembangkan apa yang diajarkan oleh orang tua. “Pertanyaanya, apakah semua punya waktu yang cukup untuk mendidik anak?, seberapa banyak orang tua sadar soal hal ini?, dan apakah semua orang tua memiliki wawasan yang baik untuk mendidik anaknya?”, tanya Gus Sholah.

“Anak-anak dekat dengan orang tua mereka dari kecil sampai SMP saja, masuk SMA kawannya lebih berpengaruh dari pada orang tua”, kata Gus Sholah. Beliau melihat bahwasanya ketika anak memasuki bangku SMA adalah masa dimana mereka harus sadar memilih dalam pergaulan mereka, di mana kontrol dari orang tua mereka mulai longgar. “Tapi yang paling mempengaruhi tetaplah media”, ujar ayah tiga anak ini.

Berbicara tentang mahasiswa, Gus Sholah berpendapat kalau para agent of changes itu harusnya belajar lebih kritis, berkomunikasi, bersosial dan belajar lebih kreatif. “Berorganisasi, itu bagian dari pembentukan dari diri kita”, ucap Gus Sholah dengan tenang. Beliau berpendapat dalam oraganisasi bukan hanya para mahasiswa, tapi semua orang bisa belajar kepemimpinan dan bersosial. Kalau kita perhatikan, “beberapa Menteri yang masih muda itu dulunya adalah aktivis kampus seperti Imam Nahrowi dan Anis Baswedan”, kata tokoh politik ini.

Penulis : Ahmad Ridlo Zamzami, Santri Denanyar Jombang.

Editor : Fazlur Rahman, Santri 7 Bisri Syansuri, KMNU UIN Sunan Kalijaga.

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *