Seperti yang kita ketahui R20 atau Religion of Twenty 2022 merupakan sebuah forum para tokoh-tokoh agama dan sekte-sekte terkemuka dari negara-negara anggota G20. Meskipun demikian, bukan hanya negara-negara G2O saja, akan tetapi mereka juga mengundang para tokoh-tokoh agama terkemuka dari berbagai negara yang bukan anggota G20.
Pada dasarnya R20 diselenggarakan di negara yang mayoritas beragama. Dan untuk pertama kalinya R20 diselenggarakan di Indonesia, tepatnya di Bali. R20 nantinya akan diselenggarakan secara berkesinambungan dan menyeluruh, sama seperti urutan presidensi G20 yakni di India pada tahun 2023, Brazil pada tahun 2024 lalu di Afrika pada tahun 2025 mendatang.
Forum R20 merupakan sebuah forum yang dibentuk agar para tokoh setiap agama dapat menyampaikan problematikanya dan nantinya problem tersebut dapat diselesaikan bersama, yang menjadi problematika disini bukan hanya masalah agama saja. Jika dilihat dari taglinenya “Revealing and Nurturing Religion as a Source of Global Solusions: an International Movement for Shared Moral and Spiritual Values” yang menjadi problematika di R20 ini seperti kemiskinan, kesenjangan global, popularisasi, dan lebih cenderung ke ranah politik.
Baca Juga: https://uinsuka.kmnu.or.id/pandangan-gus-dur-mengenai-relasi-antara-islam-dan-negara/
R20 pertama kalinya digagas oleh KH Yahya Cholil Staquf atau sering kita kenal dengan sebutan Gus Yahya. Menurut Gus Yahya, sudah saatnya agama harus ikut langsung dalam menyelesaikan berbagai permasalahan global mulai dari masalah agama, budaya, kesenjangan sosial, kemiskinan, atau politik. Pemikiran tersebut tidak beda jauh dengan salah satu pemikiran Gus Dur di era 70-an.
Sosok KH Abdurrahman Wahid atau sering kita kenal dengan sebutan Gus Dur memiliki pemikiran yang identik dengan keagamaan. Bagi Gus Dur, nilai terpenting dari sebuah agama adalah pemaknaan terhadap cara manusia bisa menempatkan dirinya di dunia untuk mengatur tujuan hidup, termasuk bersikap toleran guna mencapai keharmonisan sosial. Bagi umat muslim, toleransi sendiri berpusat pada nilai kemanusiaan. Sehingga umat muslim tidak seharusnya takut suasana plural, melainkan harus merespon secara positif segala bentuk perbedaan.
Dari literatur yang saya baca, saat Gus Dur saat masih muda beliau menerima sebuah undangan di Seminari Kristen. Beliau memberikan materi mengenai agama islam. Kunjungan yang dilakukan oleh beliau menimbulkan banyak kontroversi. Banyak ulama-ulama tradisional yang tidak senang dengan kedatangan Gus Dur untuk mengisi materi di Seminari Kristen. Akan tetapi Gus Dur masih terus menyuarakan dialog antar agama. Setelah Gus Dur terpilih sebagai ketua Umum PBNU dan kemudian terpilih menjadi presiden Indonesia, beliau selalu menginisiasi dengan berbagai dialog lintas agama.
Bagi Gus Dur nilai kemanusiaan selalu menjadi pedoman kuat serta utama dalam memecahkan segala problematika, termasuk dalam bidang keagamaan. Beliau memiliki keyakinan bahwa agama apapun selalu meletakkan nilai kemanusiaan sebagai pondasi kuat dalam membangun hubungan dialogis yang kondusif dalam suasana pluralis. Menurut Gus Dur mengutamakan nilai kemanusian tidaklah dianggap sebagai sesuatu yang melawan logika ajaran agama. Sebab nilai kemanusiaan (humanisme) sendiri adalah inti dari ajaran setiap agama di muka bumi.
Baca Juga: https://uinsuka.kmnu.or.id/dialektika-relasiaonal-antara-islam-dan-budaya/
Gus Dur juga menjadi salah seorang tokoh muslim yang sangat tidak setuju dengan segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama. Ia juga tidak setuju dengan pendirian laskar-laskar agama untuk menyelesaikan sebuah konflik. Secara tegas Gus Dur mengatakan, perjuangan hak asasi manusia, demokrasi, dan kedaulatan hukum adalah perjuangan yang universal, sehingga bukan hanya menjadi hak atau mengeklaim satu-satunya agama.
Kemudian saya mengutip dari sebuah jurnal, dalam salah satu tulisannya, Gus Dur pernah menjelaskan,“Tidak perlu ada kekhawatiran bahwa dengan kesediaan meninggalkan formalitas Islam akan larut dan kalah. Karena pada dasarnya nilai-nilai keadilan, persamaan, dan demokrasi sebenarnya bukan hanya milik Islam melainkan juga milik kemanusiaan. Namun wawasan, lingkup, watak, dan tujuannya tetap berbeda.”
Dalam hal itu dijelaskan bahwasannya Gus Dur tidak hanya pemberi gagasan semata tentang Islam yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, yaitu dengan cara menghormati ajaran dan keyakinan orang lain. Melainkan juga bertindak nyata dengan melakukan dialog antar umat beragama, khususnya di Indonesia.
Oleh: Anang Ma’ruf, Pengurus PSDM Fakultas Bisri Syansuri
Editor: Ida Rahayu