Dialektika Relasiaonal antara Islam dan Budaya

(Oleh: Muhammad Ali Maghfur seorang mahasantri di PP Al Ghozali Sleman, Yogyakarta. Dan juga merupakan mahasiswa aktif Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab)

Islam dan budaya merupakan dua entitas yang tidak mungkin untuk dipisahkan. Sebuah hal yang unik, mengingat pada dasarnya Islam sendiri merupakan sebuah ajaran dari Allah SWT yang statis dan mustahil berubah yang mau tidak mau harus bersinggungan dengan budaya manusia yang sangat plural dan dinamis. Hal ini terjadi karena tanpa budaya, agama ini tidak akan pernah dapat mampu untuk dipahami secara utuh dan menyeluruh oleh para penganutnya.

Hal ini dapat dilacak bahkan sejak pertama kali Islam diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW ke bumi. Al Quran sendiri merupakan sebuah wahyu yang diturunkan Allah agar manusia dapat mengetahui serta memahami Islam dan tentang bagaimana cara praktik kehidupan baik dalam masalah peribadatan maupun dalam permasalahan yang sifatnya sosial. Firman Allah SWT yang sakral dan suci itu Allah SWT turunkan dengan menggunakan bahasa Arab yang merupakan budaya dan hasil dari kreasi dari manusia. Tanpa menggunakan bahasa arab atau bahasa lain yang dipahami manusia mustahil Islam dapat dipahami.

Selanjutnya, wahyu tersebut membutuhkan berbagai macam penafsiran untuk paling tidak berusaha mencari makna sesungguhnya dari tiap-tiap ayat. Meskipun pada kenyataannya tidak benar-benar ada yang tau apa makna asli yang terdapat di dalamnya. Semua hanya bersifat dugaan kuat yang merupakan hasil ijtihad sehingga dapat saja salah.

Namun, satu hal yang harus dipahami bahwa proses penafsiran demi penafsiran terhadap wahyu suci dari Allah SWT tersebut senantiasa terikat dengan ruang dan waktu dimana seorang intrepeter bekerja di dalamnya. Implikasinya adalah apa yang dihasilkan akan berbeda-beda sesuai dengan pengalaman dan kebudayaan di sekelilingnya. Misalnya, ketika Allah SWT memerintahkan umat muslim untuk menutup aurat, para ulama yang tinggal di kawasan Timur Tengah berdasarkan budaya berpakaian yang ada disana biasanya menggunakan jubah, kemudian yang perempuan mengenakan cadar. Hal ini tentu berbeda ketika ayat tersebut di tafsirkan oleh ulama di Indonesia, ulama-ulama di Indonesia lebih menggunakan sarung, kemeja, kopiyah, dan semacamnya. Bukan karena apa, ya memang itu lah budaya yang ada disekitarnya.

Sebuah kenyataan yang tidak mungkin kita tolak adalah bahwasanya setiap tempat memiliki budaya dan tradisi yang berbeda-beda. Sehingga penafsiran dan pemahaman keagamaan akan mengalami banyak sekali perbedaan juga, tentu tidak akan menjadi masalah karena keragaman itu juga sunnatullah. Hal ini tersirat dalam Firman Allah SWT dalam Q.S Al Hujurat ayat 13:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Baca Juga :Wajah Perempuan di Panggung Peradaban

Setelah kita tahu bahwa rasanya tidak mungkin memisahkan antara Islam dan budaya karena bagaimana mungkin kita bisa mempraktikkan agama tersebut tanpa menggunakan aspek-aspek kebudayaan. Tidak lantas berarti Islam menerima seluruh kebudayaan yang berasal dari luar Islam. Setidaknya ada tiga cara Islam ketika bersinggungan dengan budaya-budaya tersebut.

  1. apresiatif-complement

Sikap ini, diartikan sebagai sikap menerima atau membiarkan berlakunya sebuah tradisi. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut serta menyempurnakan aturannya. Contoh dalam masalah ini adalah perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram, penerimaan dinar dan dirham sebagai mata uang dll.

2. Destructive

Sikap diartikan sebagai sikap yang menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi dimaksud oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Pelarangan terhadap praktik tersebut juga dibarengi dengan ancaman bagi yang melakukannya. Termasuk dalam kategori ini dalah kebiasaan berjudi, minuman khamr, praktik riba, dan perbudakan.

3. Adaptive-reconstructive

Merupakan sikap Islam yang menerima tradisi Arab, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Al-Qur’an tetap menggunakan simbol-simbol atau pranata sosial yang ada, namun keberlakuannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, sehingga karakter aslinya berubah. Al-Qur’an mentransformasikan nilai-nilainya ke dalam tradisi yang ada dengan cara menambah beberapa ketentuan dalam tradisi tersebut. Di antara adat istiadat Arab yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pakaian dan aurat perempuan, hukum-hukum yang terkait dengan perkawinan (keluarga), anak angkat, hukum waris, dan qishash-diyat

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *