Judul Kitab : Al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul.
Penulis : Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.
Penerbit : Dar Al Kutub Al-Islamiyah.
Tahun : 2022Tebal : 608 halaman.
Al-Ghazali merupakan ulama terkemuka yang banyak menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu mantiq, ilmu kalam, filsafat, fikih, ushul fikih, dan bahkan teologi. Ia banyak melahirkan karya tulis, di antara karyanya yang paling monumental adalah kitab Ihya Ulum al-Din. Selian itu, ada karya lain yang cukup dikenal terutama di kalangan pesantren di Indonesia antara lain, seperti Bidayat al-Hidayat, Minhaj al-Abidin, al-Munqidz min al-Dlalal, al-Wasith dan al- Wajiz. Sedangkan dalam ushul fikih, al-Ghazali mempunyai beberapa karya, di antaranya adalah al-Mankhul, al-Ma’lul fi ikhtilifayah, Tahdzib al-Ushul, Shifaul al-Ghalil dan Al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul.
Kitab al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul selanjutnya disebut dengan al- Mustashfa, merupakan kitab yang ditulis sekitar tahun 499 H/1106 M, dan selesai pada tahun 503 H, atau dua tahun sebelum kematiannya. Kitab tersebut, ditulis atas dasar permintaan dari mahasiswanya di madrasah Nizamiyah, agar menuliskan kitab sebagai pegangan tentang metode penggalian hukum (Istinbath al-Hukm) Islam. Dari permintaan itulah kemudian ia mengabulkan dengan menghadirkan kitab al-Mustashfa.
Jika melihat tahun akhir penulisan, karya ini merupakan kitab terakhir dari al-Ghazali. Dan bisa dibilang kitab ini ditulis pada kondisi al-Ghazali sedang dalam keilmuan yang sudah matang. Atau, pada saat ia lebih mementingkan kehidupan kesufian. Tentu, kita tahu bahwa al-Ghazali mengalami “epistemologi keraguan” yang sangat dahsyat, terutama dalam pencariannya tentang kebenaran, yang pada akhirnya ia berlabuh di tasawuf.
Berbeda dengan kitab ushul fikih pada umumnya, kitab al-Mustashfa adalah kitab yang cukup menarik. Menariknya adalah terletak pada penulisannya yang memberi pendahuluan mantiq atau logika, dan itu yang membedakan dengan karya sebulumnya. Tak heran, sebab al-Ghazali sangat piawai dalam ilmu terebut. Bahkan ia dikenal sebagai ulama yang ingin memadukan antara Aql (akal) dan Naql (wahyu). Menurutnya, ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang bisa memadukan antara akal dan wahyu, sebagaimana yang telah kutip di atas.
Meski demikian, ia tetap menekankan wahyu atas akal sebagai sumber pengetahuan dalam menggali hukum syar’i. Hal ini, berlandaskan pernyataan yang ditulisnya dalam kitab yang sama “Tidak ada hukum tanpa titah Tuhan”. Faktor lain, kenapa al-Ghazali berpendapat seperti itu, menurut hemat penulis, adalah karena ia pengikut mazhab Asy’ari. Dan tidak bisa kita pungkiri, bahwa dalam karya al-Mustashfa, ia tentu banyak dipengaruhi oleh teori-teori kalam, khususnya kalam Asy’ari.
Di samping itu, al-Mustashfa merupakan kitab yang masuk kategori tingkatan lanjut atau pengembangan dalam mempelajari ushul fikih. Karena itu, dalam mempelajari kitab tersebut, bisa dibilang tidak mudah. Dari saking sulitnya kitab ini, seorang pembaca tidak cukup hanya dengan mengetahui ilmu nahwu dan sharaf (gramatikal bahasa arab), melainkan juga butuh terhadap ilmu lain, misalnya mantiq, balaghah dan lainnya. Maka dari itu, untuk memahami al-Mustashfa butuh orang-orang yang memang benar-benar alim yang tidak hanya pada diskursus ilmu alat saja.
Selanjutnya, menurut pernyataan Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah, kitab ini adalah salah satu dari empat karya induk dalam ushul fikih. Selain itu, ada kitab lain, seperti al-Amad, karya al-Qadi Abd al-Jabbar, al-Mu’tamad, karya Abu al-Husain al-Basri, dan al-Burhan, karya al-Juwaini. Al-Mustashfa adalah kitab yang sangat berpengaruh tidak hanya dalam kajian ushul fikih, tapi juga dalam bidang pemikiran Islam secara umum, dan bahkan sampai lintas mazhab. Tak hanya itu, kitab tersebut seringkali dijadikan sebagai pantikan awal untuk menulis kitab syarah (penjelasan).
Secara umum, kitab ini dibagi atas empat pembahasan. Pertama, membahas kaitannya dengan definisi hukum syar’i, yang dimulai dengan pembahasan hakikat hukum sebagai khithab syar’i (sebuatan Ilahi) yang ditujukan pada perbuatan subjek hukum (mukallaf). Kedua, membahas dalil atau sumber-sumber dalam mengambil sebuah hukum, misalnya dari al-Qur’an, sunah, ijma’, dalil akal dan perkataan sahabat. Ketiga, membahas metode dalam menggali sebuah hukum, dalam pembahasan ini al-Ghazali cukup panjang dalam menguraikannya. Keempat, membahas orang yang berhak atau berwenang untuk melakukan penggalian (istinbath) hukum.
Terlepas dari itu semua, bahwa dalam kitab al-Mustashfa, al-Ghazali juga memperkenalkan teori yang cukup familiar di telinga kita yaitu Maqasid asy- Syari’ah. Hemat penulis, sekalipun karya ini masuk kategori kitab sulit, bukan berarti kitab ini tidak bisa dipelajari sama sekali. Saya kira, kitab ini sangat cocok bagi mereka yang ingin mengembangkan kajian ushul fikih dan hukum Islam secara umum. Tentu, tak kalah menariknya bahwa penulis kitab ini terkenal dengan keluasan ilmunya sampai dijuluki dengan “Hujjatul al-Islam” atau sang pembela Islam. Bahkan, al-Juwaini misalnya, menjuluki al-Ghazali dengan al- Bahru Maghruq (samudera yang menenggelamkan).
Penulis : Kamalul Khair, Santri 9 KMNU UIN Sunan Kalijaga
Editor : Fazlur Rahman, Santri 8 KMNU UIN Sunan Kalijaga

