Hujan Halau Mentua
Sunyi dan sepi, menyisakan perasaan tanpa arti
Lisan membisu, tatapan kosong tak bermakna
Lihatlah ke atas cakrawala! Dimanakah swastamita berada?
Tak terlihat secercah cahaya pun di sana
Perlahan, tak apa bila turun sebentar saja
Mengiringi air mata keluar dari persembunyiannya
Mungkin bentala sama, menjadi taksa tak berkata
Tengoklah! Ia akan meluapkan semuanya
Afeksi menjadi emosi, asmaraloka menjadi angkara murka
Kini rintikan tiba, menutupi atma yang nestapa
Tangisan pecah, jeritan menggelegar, memekikkan para sukma
Saujana tampak buana sungkawa, ia merasa lega
Telah berhasil mencurahkan segala senandika
Agaknya daksa masih ingin terhanyut dalam lara
Namun semesta mengakhirinya dengan kalimat "Kita berbeda.
Kau dapat menutupi air matamu, tidak denganku,
Walau hanya sebentar saja."
-------------------
Aksioma Utara
Rahasia yang tersembunyi di balik aksara-aksara
Tergores dalam kertas putih dengan tinta hitam
Dimana ada kenangan terpendam habis dimakan zaman
Jam pasir berganti dengan sendirinya
Menandakan telah dibuka lembaran anyar
Tak ingin kurasakan rindu yang melahirkan asa
Sungguh, ia sangatlah niskala nan cempala
Mampu membuat kalbu menjadi durja
Sementara hati berusaha tak menjelma
Mewujudkan mala bagaikan induk anala
Jangan heran bahwa hati nirmala nestapa
Daksa ini akan berjalan menuju daksina
Tanpa sedikitpun menoleh ke utara
Sebab, tak percaya lagi adanya aksioma
Ia tamat meninggalkan jejak candala
Lepaslah rindu yang mendatangkan gulana
Biarlah senandika sadrah akan sawara
Jangan menyapa bila ia bersua
__________________________________
Nuraga Asa
Aku hidup di dalam bentala
Menatap bumantara tuk melihat mega
Menyaksikan keindahan alam sang Widhiwasa
Merasakan kenikmatan dunia penuh hukama
Dan aku tak pandai berbicara
Mungkin aku ahli mengarang cerita
Aku juga tak berani angkat suara
Tapi aku bisa berimajinasi seketika
Aku pun tak ingin berkata-kata
Menulis puisi adalah satu-satunya cara
Ini aku, anak dara bersembunyi dalam akara
Tak anindita, melainkan siap menghadap anca
Membawa suryakanta hendak meneroka masa selanjutnya
Berharap menjadi sukma beradiwidia, bukan adarusa
Aku berbagi cerita, untuk melahirkan wiyata
Tak berniat kama, bahkan sampai sawala
Jauh dari kata cempera, juga merupakan asa
____________________________
Tiada Amerta
Kalakian, kau datang menciptakan dama
Berkata padaku untuk menjadi sepasang dayita
Tidak mungkin bila aku tak dewana
Kau merenjang lidah mengungkapkan asmara
Saat itu, kau memancarkan rona harsa
Denganku, kau justru membentuk asmaraloka
Dan bersamaku, kau menyusun manuskrip romansa
Namun, kini daksa tak lagi di sini
Melainkan kalbu masih selalu amorfati
Tengoklah lembayung senja pada cakrawala!
Aku telah bersiap menyapa untuk bersua
Hanya menunggu temaram hilang dimakan gulita
Hai! Arjuna dari kerajaan lakuna!
Kau berada di atas nabastala
Telah berpencar di antara nebula
Sungguh baswana dikau di sana
Nirwana menunggumu melepas penat yang kau rasa
Kalakian, aku tak menyangka bahwa kau tiada
__________
Pergi Bermimpi
Bangun, berdiri dan pergi untuk melangkah.
Berlari meraih asa nan cerah.
Jangan patah semangat, dan pergilah!
Tergores kerikil juga jangan menyerah.
Tertusuk duri rerumputan jangan pasrah.
Tersandung bebatuan janganlah kau goyah.
Semua tidak ada yang mudah.
Sang waktu terus berdetak dan bergerak.
Tanpa mau berkompromi apalagi berpihak.
Chandra dan bagaskara berjalan silih berganti
Gulita malam pun menjadi saksi.
Sejarah orkestra kehidupan serta mimpi-mimpi.
Pergilah! Hitung setiap jejak langkah yang ditinggali.
Karena setetes asa tak cukup menggapai impian.
Secuil tekad tak bisa mewujudkan masa depan.
Sekelumit usaha belum tentu mendapatkan keinginan.
Untaian doa dan usaha yang harus tetap menggebu.
Kuriositas mengajak untuk pergi dan melangkah maju.
Persistensi meraih impian, cita-cita yang dituju.
__________
Different Love
Ingatlah kau dengan kata-kata ini!
"Bentala dan bumantara tak akan menjadi amorfati
Mereka aksa dan akan selamanya enigma"
Begitu pula dengan diri ini
Mencintai makhluk Sang Pencipta yang berbeda
Dayita? Tidak mungkin terjadi pada kita
Gelabah? Tentu saja kurasakan gelisah
Tergayuh dan tergamang
Kenapa pula aku menaruh hati pada insan yang beda sembahyang?
Istiqlal dan Katedral pun sangat berjauhan
Aku khusyuk melafazkan dzikir dengan tasbih
Kau mengucap Puji Tuhan pada rosario dalam genggaman
Mustahil ending cerita kita macam Zainab
dan Abdul Ash
Apakah nirwana menerimaku yang cela?
Adakah aksama bagiku untuk memindahkan area kalbu?
Andam karam sudah harapanku bersamamu
Karena Tuhanku bukanlah Tuhanmu
______
Eonoia Senandika
Seribu langkah aku jelajah.
Selama detak jantung belum berhenti dan denyut nadi belum pecah.
Ku tak takut kalah,apalagi pasrah.
Walau kadang naluri menjadi goyah.
Kata hati menjadi sandi,"kau jangan menyerah!"
Insomnia durjana mengutuk,tak akan membiarkan aku bermimpi.
Benyanyi dipelupuk mata,menggoda agar aku rapuh.
Imajinasi mengurungku dalam ruang sendiri,sepi dan sunyi.
Bernyanyi di isi kepala,meledekku agar mengeluh.
Menggagalkan semua angan dan cita hingga tak tersisa.
Mulut dan bibir kelu,tertutup,membisu terasa berat mengucap zikir dan berdoa kepada-Nya.
Begitu banyak ujian menerpa di dunia,tak ada yang sia-sia.
Ketika progres menjadi realita.
Ketika proses menjadi nyata.
Pintu langit luas terbuka,impian akan terwujud atas doa dan usaha.
__________
Hirap
Ancala mulai melaung.
Bahtera tak lagi berlayar pada gelombang andala.
Baskara tak dapat menaki.
Semua hirap,
Tak ada lagi kata nirmala.
Digantikan amarah pada semburan lava.
Juga lakara yang tenggelam.
Mega pun hanya jumantara.
Jika bertanya karena siapa?
Manusialah subjeknya.
Entah yuwana sampai tetua,
Semua sama saja.
Tak dapat menjaga yang dibawa oleh pitarah.
Nestapa selalu datang terakhir,
Menyisakan atma yang sadrah shahaja,
Pada Sang Kuasa.
_______________
Dunia Fana
Fakta pemuda zaman milenial
Tak ada lagi kata adiwidia
Sukma jatmika telah hirap
Tergantikan dengan atma yang menaki
Pemilik daksa
Berhati candala
Pikiran selalu berbalah
Tak ingin mengalah
Semua terbelangah
Pada tangan para bedebah
Tak ada yang beragah
Semua diam dalam bawah tanah
Sebuah elegi bersenandung
Melaung
Mengungkapkan perasaan yang tak sempat disampaikan
Oleh jiwa-jiwa yang penuh nestapa
Menyisakan raut sendu pada hati nirmala.
__________________
Kalbun Tanpa Qolbi
Seperti kalbun tanpa qolbi,
Ia menggonggong sesuka hati,
Cari keributan sana sini.
Hanya pandai bicara,
Yang membuat semua lara.
Tak pikirkan perasaan.
Tak peduli kedamaian.
Selalu mengajak perang,
Dengan menyerang.
Ia sembunyikan pedang,
Untuk menang.
Apalah kata orang,
Jikalau ia main curang?
Sungguh…
Tak punya akal,
Lisanlah yang handal.
Qolbi telah tertutupi,
Kalbun pun menjadi-jadi
_________________
Irama Qolbi
Gema adzan berkumandang,
Teringat akan kampung halaman.
Sanak saudara dalam pikiran,
Ibarat ikhfa' yang samar.
Irama qolbi gelisah…
Lantunan ayat-ayat suci Al Qur'an,
Telah dilafadzkan,
Terdengar seperti bacaan idzhar.
Jelas…
Dengungan suara muroja'ah,
Dari lisan para sang Hafidzah,
Layaknya idgham bighunnah.
Parah…
Aku kalah…
Irama qolbi gelebah…
Di sini…
Di penjara suci ini…
Kuharapkan ridho sang Ilahi,
Melalui restu seorang kyai.
Kubuka lembaran baru,
Mengobarkan semangat maju,
Menjadi santri yang bermutu.
Irama qolbi mendayu.
________________
Hilang Bersama Hijaiyah
Dulu...
Kita pernah menjadi lilmusyarokah bainal isnain
Yang bermakna saling
Bahkan kau pernah sebagai mudhof
Sedangkan aku mudhof ilaih-nya
Bagaikan mubtada' dan khobar
Kita pernah selalu bersama
Namun kini...
Kita telah berpisah hanya karena 'amil merusaknya
Terlebih kau berubah menjadi alif layyinah
Yang tidak bisa menerima harokat
Masih terngiang suaramu
Seperti bacaan ikhfa' dalam pikiranku
Kupersilahkan kau me-nuqilat-kan hatimu
Pada dia yang lebih baik dariku
Dan kurelakan dia meng-ubdilat-kan posisiku
Ingin rasanya ku melarang kau pergi dengan fi'il nahi
Tapi ku hanya bisa menjadi hamzah washol di tengah kalimat
Atau huruf lam dalam idghom syamsiyah
Ku biarkan kau pergi bersamanya
Hingga aku hilang bersama hijaiyah
Yang di sukun-kan karena waqof
___________________
Mutiara pendosa
Aku hanyalah bunga layu di antara mereka
Tak kan pernah bisa kembali mekar seindah bunga lainnya
Aku seperti kaca buram yang tertutup debu
Tak lagi jernih saat dipandang oleh mata
Namun...
Dahulu ku bunga yang banyak penggemar
Hanya tersembunyi dalam ruangan pengap
Dan tak lagi dipedulikan
Hingga aku mati dalam hitungan masa
Walau kaca tak lagi jernih
Walau buruk dipandang mata
Tapi dia bisa diperbaiki
Bisa diperindah kembali
Seperti sedia kala
Bagaikan mutiara yang tergores
Bagaikan mutiara yang ternodai
Ingin rasanya ku kembali ke awal
Sebagai mutiara mulia
Bukan mutiara pendosa
Penulis:
Aufanida Rahma Finanda (Penyair & Wakil Ketua Umum KMNU UIN SUKA 2025)