Matahari tenggelam di ufuk barat, suara adzan ashar mulai berkumandang, Hafiz tiba di pondok pesantren Raudhatul Ulum bersama keluarganya. Mereka sowan kepada Pak Kyai untuk bersilaturahmi sekaligus menyerahkan Hafiz untuk mondok di pesantren ini. Hati Hafiz berdebar, penuh dengan harapan dan sedikit kecemasan menghadapi lingkungan baru. Saat sowan, Hafiz bertemu dengan Yusuf, seorang teman sekolah yang berbeda kelas. Pak Kyai, yang mengetahui bahwa mereka satu sekolah, memasrahkan Hafiz kepada Yusuf agar ia bisa lebih cepat beradaptasi.
Setelah sowan, Yusuf mengantar Hafiz ke kamar asrama. Kamar yang sederhana namun bersih, lemari besar dan rak buku di pinggir ruangan. Hafiz berusaha merasa nyaman di lingkungan barunya. Setelah meletakkan barang-barangnya, keluarganya pun pulang, meninggalkan Hafiz dengan perasaan campur aduk.
Malamnya, sehabis isya, Hafiz bertemu kembali dengan Yusuf. Yusuf sempat mengajaknya mengobrol sebentar. Hafiz mengikuti Yusuf ke depan kamar pengurus. Yusuf mulai menjelaskan seputar pondok dan mengarahkan Hafiz tentang apa yang harus dilakukan sebagai santri baru. Hafiz mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami setiap detail.
“Jadi, sebentar lagi UAS? Apa yang harus dipersiapkan?” tanya Hafiz, ketika Yusuf menyinggung soal UAS.
“Iya, sekitar dua bulan lagi. Kakak beri saran, kau tak usah memikirkan tentang UAS. Kau masuk ke pondok sangat terlambat dan sudah tertinggal banyak materi. Besok, lebih baik kau mengulang kelas saja.” jawab Yusuf dengan nada serius, tapi penuh perhatian.
“Terima kasih, Kak Yusuf. Tapi, aku tidak akan menyerah,” ucapnya dengan suara penuh semangat dan tangan yang mengepal.
Hafiz yakin bisa naik kelas. Lewat obrolan tadi, ia tahu kitab-kita yang dikaji di kelasnya sama seperti kitab yang dikaji di sekolahnya dulu. Ia telah mempelajarinya dan yakin bisa naik kelas. Masalahnya hanya dua sekarang, selain ujian tertulis, ia juga harus mengikuti ujian hapalan dan mengumpulkan tulisan tangan kitab terjemahan jurmiyah. Banyak hal yang harus dipersiapkan.
Hari demi hari, Hafiz belajar dengan giat. Setelah subuh dan selesai mengaji, ia mulai mencicil hapalan. Pada siang hari, ia mencicil membuat terjemahan jurumiyah. Malam hari-nya, sebelum tidur, ia mengulang kembali pelajaran yang telah dipelajari.
Ketekunan Hafiz mulai membuahkan hasil. Ia merasa percaya diri dan yakin bisa naik kelas. Setiap kali kelelahan dan rasa malas melanda, Hafiz akan mengingat tekadnya untuk naik kelas. Hal itu membuatnya semangat lagi. Selain berusaha, Hafiz tidak lupa berdoa agar diberi ke-istiqomahan dan kemudahan belajar.
Dua bulan berlalu dengan cepat. Ujian akhir semester pun tiba. Suasana pondok yang biasanya tenang berubah menjadi hening. Tidak adalagi keramaian, semuanya fokus mempersiapkan diri menghadapi ujian.
Setelah ujian selesai, Hafiz merasa lega namun cemas menanti hasilnya. Hari pengumuman pun tiba. Santri-santri berkumpul di aula pondok, menunggu hasil ujian dengan penuh harap. Ketika Pak Kyai memanggil nama-nama pemenang kelas, Hafiz mendengarkan dengan hati berdebar.”Juara kedua… Hafiz,” kata Pak Kyai dengan suara lantang.
Hafiz tercengang dan hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia merasa sangat bersyukur dan senang. Air mata haru mengalir di pipinya. “Alhamdulillah, semua usaha dan doa saya tidak sia-sia,” bisik Hafiz penuh syukur.Hafiz segera berdiri dan melangkah ke panggung, menerima hadiah dari Pak Kyai. Di kerumunan penonton, Yusuf menatap tak percaya, seorang santri baru dengan umur dua bulan bisa mendapat juara dua.
Penulis: M Zainur Rofiq, Mahasiswa Universitas Teknik Yogyakarta Semester 5
Editor: M Sirojuddin Sa’id, Santri 8 KMNU UIN Sunan Kalijaga