Oleh: Muhammad Ali Magfur seorang mahasantri di PP Al Ghazali Sleman, D.I Yogyakarta dan mahasiswa aktif Prodi Perbandingan Madzhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Gus Dur merupakan salah satu tokoh muslim yang sangat getol dalam menolak usaha formalisasi syariat ataupun penegakan negara Islam. Beliau berpendapat bahwa Islam tidak memiliki konsep yang jelas mengenai sebuah sistem kenegaraan, dengan begitu mendirikan sebuah Negara Islam tidaklah wajib. Sekurang-kurangnya ada dua alasan kenapa Gus Dur berpendapat seperti itu:
Pertama, Islam sejak zaman nabi hingga berakhirnya kekuasaaan khulafaur rasyidin tidaklah memiliki sebuah sistem atau cara baku dalam mengangkat pemimpin. Seperti Ghalib, diketahui saat Rasulullah SAW wafat beliau tidak mengangkat salah seorang pun untuk menggantikannya (pandangan ini berbeda dengan apa yang diyakini oleh penganut syiah yang berpendapat bahwa sebelum Rasulullah SAW wafat beliau sudah menunjuk sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya).
Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah SAW dilakukan dengan pembaiatan yang dilakukan oleh para kepala suku dan perwakilan dari kelompok-kelompok Islam pada saat itu. Berbeda dengan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, Umar bin Khattab menjadi khalifah kedua setelah ditunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya. Begitu pula pemilihan Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah dilakukan oleh sebuah dewan ahli yang dibentuk oleh Umar bin Khattab.
Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam juga tidak jelas ukurannya. Tidak ada ukuran yang pasti akan hal itu apakah yang diidealkan itu bersifat mendunia dalam konteks negara bangsa (nation state) atau negara kota (city state). Dua alasan inilah yang digunakan Gus Dur untuk menolak gagasan mengenai Negara Islam.
Selain itu, ada pandangan yang unik dari Gus Dur mengenai Negara Islam yang sangat berbeda dengan pandangan banyak tokoh lainnya. Beliau menganggap bahwa pembentukan Negara Islam merupakan sebuah proses dari sekulerisasi Islam.
Dalam salah satu tulisannya beliau berkata, “Pada hakikatnya jika nilai-nilai luhur yang dibawakan Islam harus bertumpu pada kekusaan negara. Maka proses sekulerisasi telah terjadi karena institusi negara menjadi lebih kuat dari agama. Beragama Islam, yang artinya berserah diri kepada Allah SWT adalah tujuan yang luhur. Karenanya, haruslah dihindarkan agar tidak diletakkan di bawah wewenang negara, tetapi menjadi kesadaran kuat dari warga masyarakat”. (Gus Dur 1989)
Baca Juga : Dialektika Relasiaonal antara Islam dan Budaya
Pandangan Gus Dur yang menyebut bahwa Negara Islam adalah salah satu bentuk dari proses sekulerisasi berbeda 180 derajat dengan para ideolog muslim yang mencita-citakan sebuah negara Islam. Sebut saja An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir yang berpendapat bahwa bukti penyerahan diri total kepada Allah adalah kesatuan eksistensial antara keimanan personal dengan tata-politik yang selaras dengan iman tersebut. Dengan inilah sebuah kepribadian Islam terbentuk, yang mewujud sebagai dasar pembentukan negara Islam.
Hakikat Islam menurut Gus Dur adalah penyerahan diri secara spiritual kepada Allah. Dengan begitu Islam tidak membutuhkan perantara sebuah negara. Hal ini dikarenakan penyerahan tersebut hanya terkait dengan kesucian batin dan kemampuan seorang muslim dalam menapaki tahapan spiritual yang sifatnya ruhani sehingga tidak membutuhkan hadirnya sebuah negara.
Beliau berpendapat bahwa segenap penanganan Islam oleh negara disebut sekulerisasi. Hal ini terjadi karena sekulerisasi menurut Gus Dur bukanlah pemisahan antara agama dan negara, akan tetapi penanganan negara atas suatu negara. Penanganan negara terhadap negara akan akan menimbulkan sebuah determenisme dari negara terhadap agama. Hal inilah yang melahirkan sekulerisasi karena logika keduniawian dari negara bersifat determinan atas hal-hal keagamaan yang terposisikan menjadi sebuah hal yang subordinat.
Pemikiran Gus Dur mengenai konsep negara ini bukan hanya menyerang pandangan kaum Islamis, seperti yang sudah penulis paparkan sebelumnya. Pandangan ini sebenarnya juga menjadi counter bagi pandangan kaum sekularis, yang dalam hal ini dialamatkan kepada Ali Abdul Raziq yang mewacanakan pemisahan Islam dan politik. Menurut Gus Dur hal ini bermasalah, karena Islam juga masuk dalam ranah legislasi. Pemisahan Islam dengan politik pada akhirnya malah akan membuat akar-akar Islam tercerabut dari politik.
Lantas bagaimana Gus Dur menempatkan Islam, jika beliau tidak setuju dengan dua paradigma ekstrem antara kaum Islamis dan Sekuleris? Gus Dur meletakkan Islam sebagai etika sosial dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan etika sosial Islamlah yang akhirnya menggambarkan kasatuan antara Islam dan politik. Meski Gus Dur menolak penyatuan antara Islam dan negara Gus Dur tetap menekankan pentingnya peranan Islam terhadap politik. Hanya saja peranan tersebut bukan dalam bentuk sebuah negara.
Gus Dur menghendaki Islam tetap berada pada tataran etis, karena di dalam Islam terdapat selaksa ajaran tentang keadilan sosial. Ini yang menjadikan Gus Dur bukanlah bagian dari sekulerisasi, karena ia tetap menempatkan etika sosial Islam sebagai dasar tata masyarakat berkeadilan. Karena bagi beliau tidaklah penting seperti apa konsep negara tersebut, yang terpenting adalah negara tersebut dapat memenuhi segala kebutuhan warga negara dengan semestinya.
Referensi
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan : Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi kebudayaan,The Wahid Institue, 2007
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita : Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institue, 2006
Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur : Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, Ar Ruzz Media, 2020
Editor : Risma Ninda Arsita