Apa yang Salah Bukan Siapa yang Salah

Saat mengamati arus perkembangan kehidupan dalam segala aspek, kita akan menemui banyak hal baru yang tak terduga. Apapun yang terlintas di pikiran kita seakan tersedia dalam teknologi canggih bernama internet. Zaman serba instan ini dianggap mampu memuaskan setiap keinginan manusia yang semakin tak terkendali. Ilmu pengetahuan berkembang luas namun tak sedikit yang menggunakannya melampaui batas. Manusia sudah merasa seperti Tuhan yang memegang kendali benar-salah atas dirinya sendiri bahkan orang lain.

Kali ini, saya terinspirasi dengan salah satu judul karya terbaru Mbah Nun, Emha Ainun Nadjib, “Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar”. Dalam konsep sebaliknya pun juga sama, bahwa dalam hal kesalahan yang terpenting adalah apa yang salah dan bukan siapa yang salah. Jadi, yang seharusnya lebih dulu diperhatikan adalah esensi dari segala sesuatu itu, entah kebenarannya ataupun kesalahannya, bukan pada subjeknya.

Baca juga: Biografi Kyai Ageng Hasan Besari: Sang Guru Dari Segala Guru

Hal ini selaras dengan ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib:

أنطر ما قال ولا تنطر من قال

“Lihatlah apa yang diucapkan dan jangan melihat siapa yang mengucapkan”.

Masalah benar-salah ini memang sangat luas cakupannya, tergantung dari sudut pandang mana kita menilai. Tidak ada kebenaran mutlak dari manusia, namun berpikir logis dan objektif adalah salah satu jalan untuk menghindari salah langkah dalam menentukan sesuatu. Saat kita menemukan atau melakukan kesalahan, itu bukanlah suatu dosa besar yang lalu bisa menjadikan diri kita salah sepenuhnya. Asalkan kita benar-benar bisa memahami dengan baik konstruksi kesalahan itu. Baik berupa sebab, akibat, maupun jalan keluarnya sehingga dari kesalahan itu kita bisa belajar untuk menuju kebenaran.

Dalam hal ini, apa yang salah adalah objek utama yang harus dipahami dan diteliti dengan baik. Menyalahkan si subjek baik itu diri sendiri atau bahkan orang lain bukanlah solusi yang tepat untuk mendapatkan kebenaran yang diinginkan. Apalagi dengan memberikan stempel buruk kepada individu tertentu atas kesalahannya, itu akan membuat pemikiran kita semakin sempit dan hanya terpaku pada bungkus luarnya saja.

Akhir-akhir ini banyak kita temui pelbagai macam kasus yang menjerat para tokoh terkemuka, tokoh agama misalnya. Masalah-masalah itu semakin ramai menjadi sorotan tatkala sudah naik ke sosial media. Bahkan tak sedikit yang memang muncul dari sana. Ketokohan atau latar belakang si subjek inilah yang nantinya akan sangat gampang memengaruhi kita dalam menyikapi permasalahan tersebut.

Kecenderungan kita untuk melihat siapa yang salah menjadi lebih besar karena pengaruh ketokohan itu. Sehingga  tak ayal hal ini justru membuat kita lengah akan esensi apa dan bagaimana kesalahan itu seharusnya diperbaiki. Apalagi dengan ketersediaan informasi yang semakin lengkap, hal-hal seperti rekam jejak, latar belakang kehidupan, atau apapun yang berkaitan dengan subjek begitu mudah diakses. Secara tidak sadar kita bisa turut hanyut dalam arus kebencian yang bersifat subjektif. Lebih buruknya lagi tak sedikit pula yang memanfaatkan hal semacam ini untuk kepentingan politik kelompok.

Dalam menyikapi segala sesuatu hendaknya kita tak hanya fokus pada satu sudut pandang saja. Apa yang terlihat benar dari satu sudut belum tentu benar di sudut yang lain, bisa jadi malah terlihat sebagai sesuatu yang salah. Sedangkan di sudut yang lainnya lagi mungkin saja juga berbeda hasil penilaiannya. Maka di sinilah peran pemikiran logis dan objektif sangat dibutuhkan. Membiasakan mencari kebenaran bersama-sama dan berangkat dari niat tabayyun adalah sikap dewasa dalam memulai hal ini.

Baca juga: Korupsi Ujung Kerusakan Bangsa

Dalam skala kecil di kehidupan keluarga tak jarang pula fenomena siapa yang salah ini kita dapati. Pada seorang anak yang nakal misalnya, antara kedua orang tua lebih cenderung untuk saling menyalahkan satu sama lain daripada bersama-sama meneliti di mana letak kesalahan mereka. Mungkin dalam cara mendidik, intensitas perhatian, kondisi lingkungan, dan sebagainya. Hal ini sepele namun sering luput dari perhatian kita.

Begitupula dalam melakukan perbaikan diri, konsep apa yang salah bukan siapa yang salah ini menjadi kunci utama kesuksesan kita dalam berbenah. Muhasabah yang kita lakukan fokus pada apa saja yang telah kita lakukan, bukan pada siapa diri kita. Dalam tradisi jawa dikenal istilah nggrayahi atine dewe-dewe (meraba hati masing-masing) adalah jalan untuk menemukan titik kesalahan yang harus diperbaiki. Maka nantinya kita tidak akan berputar dalam lingkaran kesalahan yang sama untuk selanjutnya.

Sederhananya, konsep ini sama dengan anjuran untuk lebih mementingkan isi daripada bungkus. Seperti pepatah Inggris yang berbunyi “Don’t judge a book by its cover”. Dalam menilai dan menyikapi kesalahan, yang paling penting adalah mencari letak duduk kesalahan itu, meneliti lalu memperbaikinya dan tidak terpaku pada siapakah yang melakukan kesalahan itu.

 

Penulis: Kifti (Anggota KMNU UIN SUKA Fakultas Wahab Hasbullah)

Bisa disapa lewat Instagram @kiftiyahqurthuby atau twitter @akukifti.

Artikel yang Direkomendasikan

4 Komentar

  1. Muhammad Muslim Azizi

    Kalau ada sebuah ajaran yang benar tapi dibawakan oleh orang yang salah, itukan yang salah orangnya (siapa) bukan ajarannya (apa). Tapi di sini kita harus menahan nafsu, karena kita tidak boleh asal menyalahkan. Begitu bukan?

  2. Yup benar, esensi yang paling utama 🙂

  3. Terlalu rumit ketika siapa dan apa ini diperjelas. Cenderung lebih melihat siapa untuk menyalahkan ketidak apa an yang seharusnya apa itu hal biasa yang bisa kita bahas dan mungkin memperbaiki diri ataupun sesama. Hanya karna gelar atau tahta yang disandingkan nama mungkin akan lebih terbuka menerima daripada apa isi yang harus dipahamkan. Mungkin simpel jika dipandang tetapi akan sulit untuk menegaskan kebenaran atau mungkin kesalahan. Sangat mudah terpedaya dengan sebuah kebanggan yang pernah siapa itu dapatkan dan merendahkan siapa yang tak ada embel² depan atau belakang nama. Tidak semuanya,,,. Semua itu kembali lagi, akan ada benar dan salah karna memang sudut pandang setiap pemikiran akan berbeda. Bedah lebih dalam lagi min,,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *